
Matching family tree profiles for Bung Sukarno, 1st President of Republic of Indonesia
Immediate Family
-
Privatechild
-
Privatechild
-
Privatechild
-
wife
-
wife
-
daughter
-
Privateex-spouse
-
wife
-
ex-wife
-
ex-wife
-
Privatechild
-
ex-wife
About Bung Sukarno, 1st President of Republic of Indonesia
- WIKI-EN
- WIKI-ID
- Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
(Sumber: Wikipedia Indonesia)
His wikipage in english can be found here while the Bahasa Indonesia version can be found here.
DECEASED; will be merged with his other profile:SOEKARNO; Managed by: Mas Momi
Presiden Pertama Republik Indonesia
First President of Republic of Indonesia
Already merged 20 January 2011, but still wait for finalization of his immediate family
Dr.(H.C.) Ir. H. Soekarno Sang Proklamator Penyambung Lidah Rakyat
Presiden Indonesia Pertama 1945–1966
Konseptor Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.
Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) 17 Agustus 1945.
Lahir : Ploso, Jawa Timur, 6 Juni 1901 ; Wafat : Jakarta, 21 Juni 1970 (Usia 69 tahun)
Ibu : Ida Ayu Nyoman Rai Srimben
Ayah : Raden Soekeni
Prof. Dr. Tadjoer Rizal Baiduri, guru besar Program Pasca Sarjana Universitas Darul Ulum Jombang pernah menulis buku Ida Ayu Nyoman Rai: Ibu Bangsa. (Kemang Studio Aksara, 2012). Buku ditulis “keroyokan” bareng Dr. Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, Prof. DR. A.A. Putra Agung, Prof. Dr. Aminudin Kasdi, Prof. Dr. Fabiola D. Kurnia, Prof. Dr. Roesminingsih, Prof. Dr. A Fatchan, Prof. Dr. Jacob Sumardjo.
Buku itu membahas ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben. Di antaranya mengulas pernikahan Ida Ayu Nyoman Rai dengan Raden Soekeni pada 15 Juni 1897—pernikahan yang dianggap melanggar adat keluarga Nyoman Rai, karena Soekeni dan Ida Ayu beda keyakinan dan adat—di Banjar Balai Agung, Singaraja. Ketika itu Soekeni adalah seorang guru di Singaraja.
Satu setengah tahun setelah pernikahan, Ida Ayu melahirkan putri mereka, Soekarmini. Pada 1898, Soekeni dipindahkan dari Singaraja ke Surabaya. Ida Ayu ikut meninggalkan Bali untuk mendampingi suaminya yang menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) di Kota Surabaya. Mereka bermukim di Pandean, Kelurahan Peneleh, Surabaya. Tempat Soekeni mengajar ada di Sulung, sebelah timur kantor Gubernur Jawa Timur saat ini.
Soekeni bertugas di Kota Surabaya selama tiga tahun, antara 1898 – 1901. Sejarawan Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), Peter Apolonius Rohi dan sejarawan Bali Nyoman Suka pernah bercerita: “Kemudian sampailah (Ida Ayu Nyoman Ray dan rombongan) di Surabaya di Peneleh. Gangnya dekat rumah HOS. Tjokroaminoto. Tidak lama tinggal di situ sebenarnya, kalau tidak salah, enam bulanan. Baru kemudian di pindah ke Ploso (Jombang), kemudian ke Mojokerto.”
Sanad Kesantrian Soekarno
Sukarno Islam smenjak kecil di Ploso dengan sang ayah, Soekeni
Ploso terkenal dengan penduduknya yang fanatik menjalankan ajaran Agama Islam. Namun demikian Soekeni—yang oleh sebagian orang dituduh sebagai penganut Kejawen dan Teosofi—tidak kesulitan untuk berbaur dengan penduduk setempat.
Selama bertugas di Ploso, Soekeni merangkul seorang tokoh kharismatik setempat, pengasuh Pesantren Kedung Turi, Ploso, bernama KH. Abdul Mu’thi. Kiai Mu’thi adalah seorang tester dan juragan tembakau terkenal di Ploso, yang selalu membela dan memihak hak-hak ekonomi petani tembakau di Jombang dan sekitarnya. Beliau adalah putra Kiai Ahmad Syuhada, pendiri Pesantren Kedungturi.
Soekeni menjalin relasi dengan KH. Abdul Mu’thi setelah mendapatkan rekomendasi dari Tjokroaminoto. KH. Abdul Mu’thi adalah tokoh sentral sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI) Ploso Jombang, sedangkan Tjokroaminoto adalah Pemimpin Sarekat. Perkenalan Soekeni dengan Islam berlangsung cepat dan intens selama di Ploso. Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan putra-putrinya juga tidak canggung berinteraksi dengan masyarakat Islam Ploso.
Masjid Kedung Macan yang dirikan Kiai Muntoho masih eksis dan digunakan masyarakat untuk beribadah shalat lima waktu dan shalat Jumat hingga saat ini. Masjid tua ini juga menjadi salah satu tempat gelaran acara Khususiyah para Jamiyah Qodiriyah wan Naqsabandiyah setiap kamis sore.
Sementara itu, Ida Ayu bersahabat dekat dengan Nyai Nasikhah, istri Kiai Abdul Mu’thi. Nyai Nasikhah adalah saudagar batik di Ploso. Nah, menurut keterangan dari berbagai sumber, Sukarno kecil pernah nyantri dan mengaji dasar-dasar keislaman, fasolatan, dan baca tulis Al-Quran kepada KH. Abdul Mu’thi.
Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang, tempat di mana dulunya Pesantren Kedung Turi yang diasuh Kiai Abdul Mu’thi berdiri.
Bahkan ada juga informasi yang menyebutkan bahwa Soekeni sempat berbaiat Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah kepada Kiai Muntoho (Muntaha) Kedung Macan, Sambong, Jombang. Kiai Muntoho adalah guru KH. Mochammad Muchtar Mu’thi, pendiri dan mursyid Tarekat Shiddiqiyah.
Menurut Kushartono, Pengurus Yayasan Persada Sukarno Ndalem Pojok, ketika tinggal di Ploso Kusno pernah sakit keras, hingga sempat mati suri. Saat itu Kusno masih sangat kecil. Karena saat itu tempat pengobatan masih sangat sulit ditemukan, maka dicarikanlah tabib untuk mengobati Koesno. Oleh penduduk setempat, Raden Soekeni diperkenalkan dengan seorang tabib yang bernama Den Mas Mendung.
Ternyata, yang dipanggil sebagai Den Mas Mendung ini adalah Raden Soerati Soemosewojo, yang akhirnya menjadi ayah angkat Bung Karno. Dan ternyata Raden Soemosewojo adalah sepupu Soekeni. Oleh Den Mas Mendung, Koesno dibawa ke Kediri untuk diobati di sana. Belakangan, tempat Koesno diobati di Kediri itu dikenal sebagai Ndalem Pojok, Kediri.
Ide mengganti nama Kusno menjadi Sukarno, menurut Kushartono, sebenarnya sudah terbesit saat masih di Ploso, namun baru direalisasikan di Ndalem Pojok. Selama Bung Karno kecil tinggal di Ploso, dia sering bolak balik ke Kediri. Aktivitas bolak-balik itu dia jalani selama sekitar enam tahunan. Setelah itu Sukarno ikut keluarganya pindah ke Jl. Residen Pamudji, Mojokerto. Namun demikian, Bung Karno masih rutin mengunjungi Ndalem Pojok, terutama di masa libur sekolah. Dan Ndalem Pojok juga yang menjadi tujuan kunjungan kenegaraan pertamanya di Jawa Timur pada tahun 1946.
Lahir di Ploso, Jombang
Bab IV buku Ida Ayu Nyoman Rai, Ibu Bangsa menjabarkan dokumen pribadi Soekeni—yang bisa mungkin bisa ‘mengusik’ pemahaman sejarah arus utama tentang Sukarno saat ini. Dalam dokumen berupa tulisan tangan itu—sebagaimana dipaparkan Prof. Tadjoer dkk.—Soekeni menuliskan perihal kelahiran putra keduanya, Kusno. Soekeni menuliskan bahwa Kusno lahir pada 6 Juni 1902. Informasi ini berbeda dengan tanggal kelahiran Sukarno versi jumhur sejarawan dan penulis biografi tentang Sukarno, yang yakin Sukarno lahir pada tahun 1901.
Sebenarnya para sejarawan arus utama sendiri juga berbeda pendapat terkait tempat kelahiran Sang Proklamator. Menurut sejarawan Peter Kasenda, sebelum tahun 1965 Sukarno disebut lahir di Kota Surabaya. Namun, buku-buku setelah tahun 1965 menyebut Bung Karno lahir di Blitar. Pada tahun 2011, Bung Karno kembali disebut lahir di Surabaya. Pada Juni 2011, sebuah prasasti sebagai penanda tempat kelahiran Sukarno dipasang di Jalan Pandean IV/40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya, Jawa Timur.
Namun, jika merujuk pada dokumen tulisan tangan Soekeni—yang menerangkan jika Bung Karno lahir pada 6 Juni 1902—maka sepertinya Sukarno tidak dilahirkan di Surabaya. Sebab, pada tahun itu Soekeni bertugas di Ploso—sekarang masuk wilayah Kabupaten Jombang. Tentunya ketika itu Ida Ayu, yang selalu mendampingi sang suami saat menjalankan tugasnya di mana pun, juga sedang bermukim di Ploso. Jika Sukarno lahir pada tahun 1902, maka jelas dia lahir di Ploso.
Perihal tahun dan tempat kelahiran Sukarno ini juga dipertegas oleh Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah Syekh Muchtarulloh Al-Mujtaba—atau KH. Muchtar Mu’thi. Dalam acara Tasyakuran Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, 19 Agustus 2020, Kiai Muchtar menegaskan bahwa Bung Karno lahir di Ploso, tepatnya di Desa Rejoagung.
Kesimpulan Kiai Muchtar itu bukannya tanpa dasar. Berdasarkan beslit atau Surat Keputusan (SK) No. 16232 tanggal 28 Desember 1901, yang ditandatangani Direktur Pendidikan, Peribadatan, dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda, tertulis bahwa Soekeni diangkat sebagai Mantri Guru—sekarang disebut Kepala Sekolah—di Sekolah Kelas Dua (Sekolah Ongko Loro) di Ploso, Surabaya. Pada zaman Belanda, Ploso merupakan ibu kota Kawedanan—atau Pembantu Bupati—yang masuk dalam Residensi Surabaya. Jombang masuk di dalam residensi tersebut. Pada 12 Mei 1902, keluar beslit yang menetapkan gaji Soekeni menjadi sebesar 50 gulden. Soekeni bertugas di Ploso dari tahun 1901 sampai 1907.
Soekeni tak bisa menolak SK Pemerintah Hindia Belanda dan harus bersedia pindah ke Ploso sebab dia merasa berutang budi kepada Pemerintah Hindia Belanda, ketika surat pengajuan pindah tugasnya dari Singaraja ke Kota Surabaya dikabulkan.
Soekeni bersama istri dan anak perempuannya, Sukarmini—kelak dipanggil sebagai Ibu Wardoyo—menggunakan moda transportasi kereta api berbahan bakar batu bara dari Surabaya menuju Jombang. Penduduk Jombang biasa menyebut kereta api ini sepur kluthuk. Kereta ini mulai beroperasi sejak diresmikan tanggal 16 Agustus 1899.
Setelah sampai di Stasiun Jombang, keluarga Soekeni naik kereta api jurusan Jombang-Babat. Jalur kereta itu melewati Ploso, setelah menyeberangi Sungai Brantas. Stasiun kereta api Ploso terletak di sebelah utara Sungai Brantas. Bekas bangunan Stasiun Ploso ini sekarang telah berubah fungsi menjadi toko dan rumah makan. Stasiun inilah yang sering menjadi tempat Soekeni maupun Kusno—alias Sukarno kecil—naik dan turun kereta api dari Kediri ke Jombang, maupun sebaliknya.
Dalam buku Candradimuka Spiritualitas Sukarno, Dian Sukarno menulis bahwa Soekeni pernah tinggal di dekat Kantor Pos Ploso. Beberapa informasi menyebutkan bahwa dahulu, di zaman Belanda, di dekat Pasar Ploso terdapat sebuah sekolah yang sekarang berubah jadi pertokoan. Sekolah inilah yang menjadi tempat Mantri Guru Soekeni mengajar.
Sebagai istri seorang guru, Ida Ayu Nyoman Rai Srimben tergolong orang yang dihormati. Masyarakat Ploso memanggil perempuan asal Singaraja ini dengan sebutan “Bu Guru”—karena dia adalah istri seorang guru.
Sukarno diduga kuat lahir di Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, di sebuah rumah di Gang Buntu desa setempat. Bung Karno juga diduga kuat pernah bersekolah di Sekolah Desa di Ploso, yang saat ini sudah menjadi SDN Ploso 1, Jombang.
Fakta ini berdasarkan penuturan salah satu guru SDN Ploso 1, Moch. Arifin. Menurut Arifin, pihaknya menemukan buku induk kedua, yang di dalamnya terdapat nama-nama murid di masa lampau. Buku induk kedua ditulis pada tahun 1907, dengan nomor urut murid di urutan pertama yakni 586 hingga 1145.
Akan tetapi, menurut Arifin, buku induk pertama, yang menyatakan bahwa Bung Karno pernah bersekolah di sekolah tersebut, raib. Nama Kusno—atau nama kecil Bung Karno—ada di buku induk pertama itu, antara urutan 01 sampai 585. Kata Arifin, pernah ada yang meminjam buku induk pertama tersebut dan buku tidak pernah mengembalikannya. Gedung SDN Ploso 1 Jombang ini, menurut Moch Arifin, diperkirakan dibangun pada tahun 1900.
Dokumen lain yang menguatkan fakta bahwa Sukarno lahir tahun 1902 adalah penulisan tempat dan tanggal lahir Sukarno di register THS (ITB) Bandung. Di situ tertulis Sukarno lahir pada 06 Juni 1902 di Soerabia. Ditulis Soerabaia karena waktu itu Kecamatan Ploso, Jombang, merupakan bagian dari Karesidenan Soerabia—atau Surabaya. Kabupaten Jombang sendiri baru berdiri pada tahun 1910, seiring pengangkatan R.A.A Soeroadiningrat atau Kanjeng Sepuh sebagai Bupati Jombang pertama.
Padang 1942
Dalam sebuah kesempatan, Bung Karno melawat ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang diampu Syeikh Abbas dan Syekh Mustafa Abdullah. Sukarno yang baru terbebas jadi orang interniran, merasa perlu sowan pada dua syeikh bersaudara ini—yang pengaruh sosialnya cukup besar di ranah Minang. Syekh Abbas dan Syekh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di Makkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ia juga berkawan dekat dengan Syekh Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Rasul. Pada kemudian hari, bersama Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lain, Syeikh Abbas mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib.
Kedatangan Sukarno ke DFA bertujuan untuk membicarakan konsep dasar dan penyelenggaraan negara. Hasilnya, Syekh Abbas menyarankan bahwa negara yang hendak didirikan harus berdasar ketuhanan. Dua ulama besar tersebut, menambah daftar nama yang padanya Bung Karno pernah ngangsu kawruh. Selain mereka, masih ada Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono yang sudah mukim di Bandung; KH Abdul Mu’thi dari Madiun; Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang (pendiri Nahdlatul Ulama), dan muridnya, KH. Ahmad Basyari, Sukanegara, Cianjur.
Berkenaan dengan pemilik nama terakhir itu, akhirnya kami berhasil menemukan riwayat beliau dalam sebuah buletin Oposisi edisi 7 yang terbit perdana pada Maret 2005. KH. Ahmad Basyari, adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Basyariyah, Sukanagara pada 1911. Ia berasal dari Madura, Jawa Timur. Usai menimba ilmu dari Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, di Pesantren Tebuireng, ia pun mendirikan pesantren sendiri di Kampung Cikiruh, Desa Sukanagara, Kabupaten Cianjur. Dasar pendirian pesantren ini sebenarnya bermula dari status Kiyai Ahmad yang sempat menjadi buronan Belanda.
Bagi masyarakat di seputaran Cianjur dan tatar Sunda secara umum, Kiyai Ahmad Basyari dikenal sebagai ulama yang mustajab doanya. Banyak masyarakat yang datang hanya demi didoakan oleh beliau. Di antara muridnya yang kemudian tampil ke permukaan adalah Haji AA Wiranatakusuma—yang kemudian menjadi Bupati Cianjur (1912-1920 M), dan Bupati Bandung (1920-1931 dan 1935-1942). Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai Menteri Dalam Negeri RI pertama. Dari sosok inilah Ir. Sukarno sebenarnya mengenal Kiyai Ahmad pada paruh akhir 1930-an.
Pada masa awal bertandang ke Pesantren Cikiruh, Bung Karno selalu datang pada malam hari, sekira pukul sepuluh. Itu pun melalui kebun pesantren. Langkah ini ditempuh demi menghindari intaian Belanda. Meski akhirnya, kedatangan tokoh pergerakan itu tetap terendus oleh mata-mata kolonial. Menurut sohibul hikayat, KH Ma’sum Basyari bin KH Ahyat Basyari bin KH Ahmad Basyari, Belanda sudah masuk ke kampung Ciguha dan Cibeber. Sebelum mereka merangsek ke Sukanagara, sebuah pesawat pengintai terbang rendah terlebih dahulu. Ajaibnya, pilot pesawat itu tak melihat satu rumah pun di koordinat yang ia pantau.
Pada saat agresi militer Belanda kedua, wilayah Sukanagara pernah dibumihanguskan lantaran di sini banyak gerilyawan yang berjuang di bawah komando Kiyai Ahmad. Menjelang kemerdekaan, Bung Karno memenuhi dawuh Kiyai Ahmad untuk bertirakat di pesantren ini selama tiga bulan penuh—demi merumuskan strategi memerdekaan Indonesia. Selama itulah jasmani-ruhani Bung Karno digembleng. Pesantren bercorak salaf ini tampak asri dan berudara sejuk. Wilayah di sekitarnya ditumbuhi banyak pepohonan rindang, dan juga hamparan sawah membentang sepanjang mata memandang. Cocok bagi Bung Karno yang memang gemar menyepi dari keramaian, dan merenungi nasib rakyatnya.
Ada satu peristiwa penting lain yang juga terjadi pada medio ini, yaitu pembuatan bendera Merah-Putih pertama sebelum Indonesia merdeka. Bahan kain bendera itu dipesan Kiyai Ahmad kepada H. Harun Hasan di Pekalongan pada 1939. Sebelum akhirnya disimpan rapi di dalam peti berbahan kayu jati lantaran termakan usia, bendera pusaka itu masih dikibarkan saban 17 Agustus oleh Paskibra SMAN 1 Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.
“Banyak saksi dari pelbagai daerah sekitar yang mengatakan Sukarno muda memang sering menemui KH. Ahmad Basyari untuk memperdalam ilmu agama Islam. Peninggalannya seperti lemari dan ranjang kecil di sebuah kamar, juga masih ada,” ungkap Rahmat Khadar, pewaris bendera merah putih di Pesantren Cikiruh. Sepeninggal KH. Ahmad Basyari, Bendera Merah Putih yang dibuat di Pekalongan ini diwariskan secara turun menurun hingga sekarang.
Menurut Rahmat, saat Bung Karno sekeluarga datang, KH Ahmad Basyari selalu menyuguhi bubur merah-putih (dwiwarna) untuk disantap. Mungkin sebagai tanda warna bendera Republik Indonesia pada kemudian hari. Dari tokoh kharismatik Cianjur ini pula, Bung Karno diamanahkan agar merayakan peringatan Isra’-Mi’raj setiap tahun di Istana Negara—yang tetap menjadi tradisi sampai kini. Setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno masih menyempatkan dua kali sowan ke Kiyai Ahmad secara terbuka, pada 1950 dan 1952. Setahun kemudian, KH. Ahmad Basyari berpulang ke Rahmatullah.
Sanad guru-murid di atas masih bisa kita tambahkan melalui jalur Umar Said Cokroaminoto—guru Sukarno muda semasa nyantrik di Peneleh, Surabaya. Secara silsilah, Cokro masih tersambung pada Kiyai Ageng Muhammad Besari—yang juga bertindak selaku gurunya. Terus ke atas, sanad itu bertalian melalui Kiyai Ageng Donopuro -> Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati ing Alaga Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa) -> Sunan Tembayat -> Sunan Kalijaga, hingga sampai ke Rasulullah Muhammad Saw.
Pada sebuah kesempatan emas, Pahlawan Islam yang Utama Cokroaminoto, pernah mengajak Sukarno remaja menemui Syeikhona Cholil Bangkalan. Berdasar penuturan Pengasuh Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Cholil, KH Nasih Aschal, saat itu Bung Karno ditiup ubun-ubunnya oleh Mbah Cholil. Cerita itu juga dibenarkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo—kala ia masih nyantri di bawah asuhan Kiyai Cholil.
“Setelah Bung Karno sungkem, Kiyai Cholil meniup ubun-ubunnya.”
Semasa perang perjuangan kemerdekaan, Kiyai As’ad, Kiyai Wahab Chasbullah, dan terutama KH Hasyim Asy’ari, tercatat sering disowani Bung Karno. Bahkan Resolusi Jihad hasil ijtihad Mbah Hasyim lah yang meyakinkan Bung Karno agar mengumandangkan perang terbuka menghadapi agresi militer Belanda periode dua. Sesudah menjabat presiden pertama Indonesia, bersama para pinisepuh NU tersebut, Ir Sukarno tak sungkan membantu perkembangan organisasi ulama terbesar dalam skala dunia itu.
Merujuk wasiat Mbah Hasyim di bagian atas risalah ini, maka tak berlebihan jika kami meyakini bahwa Bung Karno masih tergolong santri beliau—dan juga para kiyai lain yang pernah berhubungan secara erat dengannya. Baik sebelum dan sesudah era kemerdekaan Indonesia. Seperti Tubagus Mama Falak Pagentongan, Bogor, dan Abuya Armin di Pandeglang. Akhir kalam, sesungguhnya sebelum Gus Dur menduduki tampuk kepresidenan, negara kita tercinta sudah lebih dulu dipimpin oleh seorang santri yang namanya raksi ke seantero dunia, sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika.
Cianjur 1912-1920
Dalam sebuah buletin Oposisi edisi 7 yang terbit perdana pada Maret 2005, KH Ahmad Basyari adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Basyariyah, Sukanagara pada 1911. Usai menimba ilmu dari KH Hasyim Asy’ari, dia mendirikan pesantren di Kampung Cikuruh, Desa Sukanagara, Cianjur. Pesantren itu kini dikenal dengan Pesantren Al-Basyariyah.
Salah satu santri dari pesantren itu adalah Haji AA Wiranatakusuma, yang pernah menjadi Bupati Cianjur (1912-1920) dan Bupati Bandung (1920-1931 dan 1935-1942). Pada era kemerdekaan, Bung Karno mengangkatnya sebagai Menteri Dalam Negeri RI Pertama. Dari sosok inilah, Bung Karno mengenal Kiai Ahmad pada akhir 1930-an.
Bung Karno selalu datang ke Pesantren Cikuruh pada malam hari, sekitar pukul sepuluh. Ini dilakukan untuk menghindari intaian Belanda. Meski pada akhirnya kedatangan Bung Karno tercium oleh mata-mata kolonial.
Pada saat agresi militer Belanda kedua, Sukanagara pernah dibumi hanguskan karena banyak pejuang kemerdekaan yang berjuang di bawah komando Kiai Ahmad. Hari-hari menjelang kemerdekaan, Bung Karno memenuhi permintaan Kiai Ahmad untuk bertirakat di pesantren itu selama tiga bulan.
Selama mondok, Bung Karno banyak menimba ilmu agama, kenegaraan, dan rajin melakukan tirakat. Setiap berkunjung, Bung Karno selalu disuguhi hidangan bubur merah dan bubur putih oleh Kiai Ahmad. Bung Karno pernah menanyakan maksud dari hidangan itu, namun Kiai Ahmad tidak memberitahunya secara gamblang. Kiai Ahmad hanya mengatakan, kelak Bung Karno akan mengetahui makna dan maksud di balik warnah bubur itu.
Kemudian, pada suatu kesempatan pada 1939, Kiai Ahmad memesan kain atau bendera dengan paduan warna merah dan putih kepada Haji Harun Hasan, seorang pengusaha kain di Pekalongan. Setelah bendera jadi dibuat, pada tahun 1942 atau tiga tahun sebelum Republik Indonesia merdeka, untuk pertama kalinya bendera itu dikibarkan di lingkungan pesantren di hadapan Soekarno dan para santri.
Sebuah peti kayu berukuran 50x40 sentimeter dengan ukiran sederhana di setiap sisinya diletakkan di atas meja. Pada salah satu sisi terdapat kunci gembok ukuran sedang. Saat peti dibuka, tampaklah bendera merah putih yang terlipat dengan kondisi lusuh karena dimakan usia.
Saat dibentangkan, warna merah sudah pudar dan warna putih tampak menguning. Ada robekan kecil di ujung atas dan bawah kain bendera. Ukuran bendera sepanjang 3,3x2,1 meter. Jika diamati dari dekat, terdapat tulisan tangan pada tali bendera yang berbunyi "Memuaskan Hati H. Haroon Hasan".
Makna tulisan itu, Haji Haroon merasa senang dan bangga bisa membuatkan bendera yang dipesan Kiai Ahmad. Bendera ini yang kemudian disebut sebagai bendera yang pernah dibawa Soekarno ke Istana untuk dibuatkan duplikat oleh Fatmawati. Setelah dibuat duplikat, bendera itu pun dikembalikan ke tempat asalnya, diberikan kepada kiai Ahmad.
Kiai Ahmad Basyari wafat tahun 1953, dan kepemilikan bendera pusaka ini diwariskan secara turun temurun hingga saat ini.
Hubungan Bung Karno dan Kiai Ahmad tak berhenti sampai di situ. Mengutip laman NU Online, saat Belanda kalah dari Jepang, lalu Jepang dikalahkan sekutu, Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun Jepang yang tergabung dalam Sekutu tak rela hal itu terjadi. Kala itu, tentara Inggris diutus untuk menangkap Bung Karno.
Melihat gelagat itu, pemerintah Indonesia mempersiapkan beberapa kemungkinan. Saat tentara Inggris berdatangan di sekitar Jakarta, Bung Karno dan Bung Hatta segera mengungsi ke pedalaman. Ia mengungsi ke Pesantren Sukanegara di Cianjur. Pesantren itu tak lain adalah miliki Kiai Ahmad Basyari. Saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta hanya diantar Hasjim Ning dan seorang ajudan, tanpa pengawalan ketat.
Saat berada di pengungsian itu, seluruh kebutuhan hidup Bung Karno dan Bung Hatta dipenuhi oleh Kiai Ahmad dan masyarakat setempat. Bung Karno tak pernah bosan tinggal di tempat itu, terlebih lagi ia gunakan kesempatan itu untuk belajar agama.
Bengkulu 1930
Risalah singkat ini akan kita mulai dari masa ketika Bung Karno baru saja menuntaskan masa pembuangannya di Bengkulu. Manakala Belanda mengetahui tentara Jepang telah mendarat di sepanjang pantai Sumatera dan utara Jawa, mereka terpaksa hengkang ke Australia. Jepang lantas membawa Sukarno menuju Padang—menyusuri Bukit Barisan, dari tanah kelahiran Ibunegara Fatmawati. Di kota inilah kita bisa mencatat beberapa peristiwa penting terkait bagaimana cara Sang Proklamator memosisikan diri selaku santri.
Ia pernah berguru kepada pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor KH Zainuddin Fananie. Kala itu KH Zainuddin Fananie merupakan kader Muhammadiyah yang melebarkan sayap dakwah di daerah tersebut. KH Zainuddin Fananie pula yang menjadi saksi saat Bung Karno meminang Fatmawati.
Hari-hari berikutnya, saat Belanda mengetahui tentang Jepang telah mendarat di sepanjang pantai Sumatera dan utara Jawa, serdadu penjajah terpaksa hengkang ke Australia. Jepang lalu membawa Bung Karno menuju Padang. Saat berada di kota ini, Bung Karno memposisikan diri sebagai seorang santri.
Mengutip dari laman ibadah.co.id, Bung Karno pernah belajar di Perguruan Darul Funun el Abbasiyah di Puncak Bakuang, Padang Japang Kabupaten Lima Puluh Kota hari ini. Lembaga pendidikan itu diasuh oleh Syekh Abbas dan Syekh Mustafa Abdullah. Kedua ulama besar itu merupakan murid ulama Minangkabau terkemuka di Mekkah, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Keduanya juga bersahabat dengan Syekh Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka.
Kedatangan Bung Karno ke Darul Funun untuk membicarakan konsep dasar dan penyelenggaraan negara. Kala itu, Syekh Abbas menyarankan bahwa negara yang hendak didirikan harus berdasar ketuhanan. Dalam catatan sejarah, konsep ini diadopsi oleh Soekarno dalam Pancasila. Bung Karno mengusulkan “ketuhanan” masuk dalam Pancasila, yang kemudian hari disepakati menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama.
Selain dua ulama besar itu, Bung Karno juga pernah belajar kepada Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono yang sudah mukim di Bandung, KH Abdul Mu’thi dari Madiun, Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari di Jombang dan KH Ahmad Basyari di Sukanegara, Cianjur.
Ende pada 1933
Sukarno juga mendalami Islam di Bandung dan berguru langsung di bawah bimbingan A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis). Sukarno, menurut sejarah arus utama, tetap belajar Islam melalui surat-menyurat dengan Hassan, saat dia diasingkan ke Ende pada 1933. Dia minta dikirimi banyak buku-buku Islam.
Surat-surat Sukarno itu memang berisi banyak hal tentang pergulatan jiwanya dalam mendalami Islam, diskusi tentang Islam, dan penerapan Islam di zaman itu. Surat-menyurat berlangsung antara Desember 1934 hingga Oktober 1936. (Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I. Surat-surat Islam dari Endeh; 1965).
[https://alif.id/read/ren-muhammad/sanad-kesantrian-bung-karno-b2257...]
Bung Sukarno, 1st President of Republic of Indonesia's Timeline
1901 |
June 6, 1901
|
Surabaya, Oost-Java, Nederlands-Indië
|
|
1923 |
May 4, 1923
|
||
1942 |
August 26, 1942
|
Pangkalpinang, Pangkal Pinang City, Bangka Belitung Islands, Indonesia
|