R. Mas Sayidin Amangkurat I (Agung) 1646-1677

Tegal, Tegal City, Central Java, Indonesia

R. Mas Sayidin Amangkurat I (Agung) 1646-1677's Geni Profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

R. Mas Sayidin Amangkurat I (Agung) 1646-1677

Also Known As: "Sunan Prabu Amangkurat Agung", "SunanTegal Wangi", "(Susuhunan Amangkurat Tegalwangi) (1645-1677)"
Birthdate:
Birthplace: Yogyakarta, Yogyakarta City, Special District of Yogyakarta, Indonesia
Death: July 13, 1677 (31-32)
Tegal, Central Java, Indonesia (Sakit)
Place of Burial: Tegal, Central Java, Indonesia
Immediate Family:

Son of Sultan Agung Hanyakrakusuma Sultan Agung Hanyakrakusuma R.M. Rangsang; Ratu Mas Ayu Tinumpak /Sakluh Kanjeng Ratu Kulon and Ratu Wetan Ayu Batang
Husband of Kanjeng Ratu Malang; GK Ratu Wetan; GKR. Kulon II; 4 Ratu Kulon I R. Apun Pananjung; Raden Ayu Kulon and 8 others
Father of Pakubuwana I Pangeran Puger Raden Mas Darajat (1705-1719), [9GGF]; 17 Raden Doberes; Raden Mas Rahmat (Amangkurat II); P. Puger R. M. Darajat Pakubuwana-1; Arya Mataram and 28 others
Brother of RM. Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang and R. Mas Jatmika
Half brother of Raden Bagus Rinangku; Ratu Pandansari; Sunan Amangkurat Agung; Pangeran Ronggo Kajiwan; Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil ., I and 10 others

Occupation: King of Mataram (1646-1677), Raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun
Managed by: Private User
Last Updated:

About R. Mas Sayidin Amangkurat I (Agung) 1646-1677

Upon taking the throne, Agung's son Susuhunan Amangkurat I tried to bring long-term stability to Mataram's realm, murdering local leaders that were insufficiently deferential to him, and closing ports so he alone had control over trade with the Dutch.

By the mid-1670s dissatisfaction with the king was turning into open revolt, beginning at the margins and creeping inward. Raden Trunajaya, a prince from Madura, lead a revolt fortified by itinerant fighters from faraway Makassar that captured the king's court at Mataram in mid-1677. The king escaped to the north coast with his eldest son, the future king Amangkurat II, leaving his younger son Pangeran Puger in Mataram. Apparently more interested in profit and revenge than in running a struggling empire, the rebel Trunajaya looted the court and withdrew to his stronghold in East Java leaving Puger in control of a weak court. Makassar, (Macassar, Mangkasar) is the provincial capital of South Sulawesi, Indonesia. Events First performance of Racines tragedy, Phèdre Sarah Churchill marries John Churchill, 1st Duke of Marlborough Battle of Cassel, Philippe I of Orléans defeats William of Orange Mary II of England marries William of Orange English Statute of frauds is passed into law Battle of Landskrona Elias...

Amangkurat I died just after his expulsion, making Amangkurat II king in 1677. He too was nearly helpless, though, having fled without an army or treasury to build one. In an attempt to regain his kingdom, he made substantial concessions to the Dutch, who then went to war to reinstate him. For the Dutch, a stable Mataram empire that was deeply indebted to them would help ensure continued trade on favorable terms. They were willing to lend their military might to keep the kingdom together. Dutch forces first captured Trunajaya, then forced Puger to recognize the sovereignty of his elder brother Amangkurat II.

Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia banyak mengalami pemberontakan selama masa pemerintahannya. Ia meninggal dalam pelariannya tahun 1677 dan dimakamkan di Tegalwangi (dekat Tegal), sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek, karena ia terluka saat menumpas pemberontakan Mas Alit adiknya sendiri.Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.

Pada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.

Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.

Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.

Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.

Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).

Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.

Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.

Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.

Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.

Puncaknya, tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.

Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.

Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.

Mataram V (1645-1677). Died on 13 July 1677 and buried in Tegalwangi.

Other info:

http://id.rodovid.org/wk/Istimewa%3AChartInventory/26073


Sultan Amangkurat Agung Raden Mas Sayidin (Amangkurat-I )

SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat 1)

wafat: 13 Juli 1677, Wanayasa, Banyumas

Sepeninggal Sultan Agung, tak lama kemudian Raden Mas Sayidin atau Amangkurat I langsung naik tahta. Di masa-masa awal kepemimpinannya, Mataram masih dalam keadaan baik-baik saja, sampai Amangkurat I mulai melakukan aksi suka-suka tanpa alasan yang jelas. Misalnya memindah ibukota Mataram ke Plered dan membangun istana di sana.

Namun, Amangkurat I berdalih macam-macam kemudian mengusung pusat kota ke tempat lain. Aksi ini kemudian menimbulkan semacam ketidaksukaan. Termasuk para tokoh senior yang menganggap keputusan ini terlalu gegabah dan motifnya bukan untuk kemajuan kerajaan. Berawal dari sini, kemudian muncul bibit-bibit pemberontakan di Mataram.

Membantai Orang-Orang Terdekat
Aksi protes para tokoh senior ternyata membuat Amangkurat I tidak suka. Ia pun langsung memutuskan untuk menyingkirkan orang-orang yang tak sejalan dengannya itu. Akhirnya dengan berbekal intrik, Amangkurat I mulai membunuhi satu per satu tokoh-tokoh berpengaruh Mataram.

1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.

Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.

Tewasnya para tokoh senior membuat adik Amangkurat I bernama Raden Mas Alit tidak suka. Ia pun kemudian memberontak sejadi-jadinya. Sikap Amangkurat yang semena-mena ternyata memang tidak disukai rakyat. Hal ini terbukti dengan banyaknya dukungan yang diberikan kepada Raden Mas Alit ketika melakukan upaya pemberontakan. Namun, sayangnya, Mas Alit tewas dalam kejadian tersebut.

Amangkurat I Membantai Ribuan Ulama
Amangkurat I sangat sakit hati dengan pemberontakan Mas Alit. Apalagi sang adik ternyata didukung oleh banyak orang. Tak hanya rakyat, Amangkurat I berkeyakinan kalau para ulama juga mendukung langkah pemberontakan adiknya. Kemudian tanpa ampun, Amangkurat I menetapkan hukuman mati kepada setidaknya 5.000 ulama di Mataram ketika itu.

Sebelum dibunuh, para ulama ini didata dulu semua keluarganya. Baru setelah lengkap kemudian dibawa ke alun-alun Plered. Di sini lah kemudian eksekusi dilakukan. Disaksikan oleh banyak orang, kemudian para ulama dan keluarganya ini dibantai satu persatu. Kala itu, hampir enam jam lebih prosesi ini dilakukan. Sungguh keji!

Membunuh Mertua dan Selirnya dengan Keji
Berlaku kejam kepada keluarga sendiri juga merupakan hal yang melekat dengan Amangkurat I. Buktinya sendiri tak hanya tewasnya Raden Mas Alit, sang adik, tapi juga beberapa orang terdekatnya yang lain, yakni mertua dan seorang selirnya. Ceritanya diawali dari perselisihannya dengan sang putra mahkota bernama Mas Rahmat.

Tercatat ayah dan anak ini sering sekali berselisih. Puncaknya adalah ketika Mas Rahmat melakukan kudeta namun gagal. Entah mungkin karena kesal, Mas Rahmat kemudian merebut Rara Oyi yang merupakan calon selir Amangkurat I. Sang raja jelas marah dengan itu, namun anehnya ia malah menghukum mati Pangeran Pekik, sang mertua. Alasannya, Amangkurat I menuduh sang mertua menjembatani penculikan Rara Oyi.
Tak selesai sampai di sini, Amangkurat kemudian berhasil menangkap Mas Rahmat dan calon selirnya. Mas Rahmat sendiri diampuni, tapi dengan syarat harus membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

=============

Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000-6.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.

Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOCyang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembangtahun 1659.

Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebonditugasi menaklukkan Banten tetapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.

Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddindatang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).

Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.

Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

PEMBERONTAKAN TRUNOJOYO

Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.

Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOCtahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.

Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.

Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.

KEMATIAN AMANGKURAT I

Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tetapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.

Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.

view all 49

R. Mas Sayidin Amangkurat I (Agung) 1646-1677's Timeline

1645
1645
Yogyakarta, Yogyakarta City, Special District of Yogyakarta, Indonesia
1648
February 2, 1648
1648
Mataram
1660
1660
Bali, Indonesia
1677
July 13, 1677
Age 32
Tegal, Central Java, Indonesia

Upon taking the throne, Agung's son Susuhunan Amangkurat I tried to bring long-term stability to Mataram's realm, murdering local leaders that were insufficiently deferential to him, and closing ports so he alone had control over trade with the Dutch.

By the mid-1670s dissatisfaction with the king was turning into open revolt, beginning at the margins and creeping inward. Raden Trunajaya, a prince from Madura, lead a revolt fortified by itinerant fighters from faraway Makassar that captured the king's court at Mataram in mid-1677. The king escaped to the north coast with his eldest son, the future king Amangkurat II, leaving his younger son Pangeran Puger in Mataram. Apparently more interested in profit and revenge than in running a struggling empire, the rebel Trunajaya looted the court and withdrew to his stronghold in East Java leaving Puger in control of a weak court. Makassar, (Macassar, Mangkasar) is the provincial capital of South Sulawesi, Indonesia. ...

Amangkurat I died just after his expulsion, making Amangkurat II king in 1677. He too was nearly helpless, though, having fled without an army or treasury to build one. In an attempt to regain his kingdom, he made substantial concessions to the Dutch, who then went to war to reinstate him. For the Dutch, a stable Mataram empire that was deeply indebted to them would help ensure continued trade on favorable terms. They were willing to lend their military might to keep the kingdom together. Dutch forces first captured Trunajaya, then forced Puger to recognize the sovereignty of his elder brother Amangkurat II.

1677
Age 32
Tegal, Central Java, Indonesia
????
????
????
????