Dato Godam

public profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

About Dato Godam

Pada Zaman Pemerintahan Sultan Nasruddin (Sultan Brunei ke-15) Tahun 1690-1710.

At that time a relative of the Minangkabau royal named "Raja Umar", known by the title Dato Godam, came to Brunei disguised as a merchant. He is a descendant of the Treasurer [Prime Minister] of Tanjung Sungayang, Pagaruyung.
Dato Godam's father, Bendahara Harun, had married a Dutch woman, Jan Van Groenewegen's daughter, who served as Dutch Resident [like an emissary] in Padang. According to Minangkabau custom, Bendahara Harun is a member of "Basa Ampek Balai" who runs the royal administration together.
The decision of "Basa Ampek Balai" before it is carried out must have the approval of Raja Alam, Raja Adat and Raja Ibadat. Raja Alam is the ruler of the kingdom and controls the laws according to hereditary customs. The King of Worship is the king who controls Islamic law before it is implemented in society.
The "Basa Ampek Balai" board consists of the Treasurer in Sungai Tarap, Tuan Gadang in Batipuh, Raja Indomo in Saruaso and Angku Kadi in Padang Ganting. Every matter that will be carried out in Minangkabau society should first be deliberated in the meeting "Basa Ampek Balai". Only then was the matter faced by the King of Adat and the King of Worship. If the opinion does not contradict Islamic customs and law, then it is conveyed to the King of Nature for ratification.
In 1662, Jan Van Groenewegen was transferred as a VOC official to Padang after previously becoming Resident of Aceh in 1660. He is known to have extensive experience because he mingles a lot with the community and knows the ins and outs of local customs. His expertise in government administration led him to the favor of the Sultan of Aceh. Moreover, his ability to attract the attention of people in association. Jan Van Groenewegen's son later married Aaron's Treasurer who later gave birth to Dato Godam.
Dato Godam was prepared from an early age as a substitute for his father to become Treasurer. He was the eldest son of Aaron's Treasurer [Prime Minister]. However, the Minangkabau people who are fanatical about adat look down on him because he is not the original Minangkabau son. Although he is a child who is worthy of replacing his father, the views of the community cause his feelings to be unhappy. That is what caused his desire to "run" to Serawak. His departure had made his father's heart sad so that he was once sent by a group to find Dato Godam.
After arriving in Serawak, Dato Godam met with Prince Tumenggung Prince Abdul Kadir. Coincidentally, both were runaways because they were disappointed. Prince Tumenggung Prince Abdul Kadir "ran away" to Serawak because he was disappointed because his daughter was invited by the King of Brunei, Sultan Nasruddin, to be his third wife. Because of this sense of fate, Dato Godam finally accepted the invitation of Prince Tumenggung Prince Abdul Kadir who was still a descendant of Bruneian nobles to go to Brunei.
Dato Godam was wise and educated and had high knowledge so that he was quickly recognized in Brunei. His presence was welcomed by the reigning Sultan, namely Sultan Nasruddin because he was considered to have knowledge and proficiency in running the government. The Sultan of Brunei asked Dato Godam to settle in Brunei and was told to marry. Feeling "indebted", Sultan Nasruddin offered Dato Godam any request to fulfill. Dato Godam then expressed his desire to edit Pengiran Tumenggong's son Pengiran Abdul Kadir who became the Sultan's third wife.
The request was granted by the Sultan. With this woman named Tandang Sari, Dato Godam then begot two children, namely Manteri Uban and Manteri Puteh. Dato Godam was instrumental in solving various problems that occurred at that time so that he was increasingly favored by the Sultan. What he did could not be separated from his experience in the Minangkabau Kingdom.
At the request of his father, Bendahara Harun, Dato Godam intended to leave Brunei to return to Minangkabau with his son, Manteri Uban (real name Abdul Rahman). Sultan Nasruddin reluctantly gave permission on condition that his second son, Manteri Puteh remain in Brunei as the forerunner of the government administrator and was expected to have high loyalty to the Sultan as Dato Godam had shown.
In addition, Sultan Nasruddin promised to confer privileges on Dato Godam's children and grandchildren as descendants of nobles as in Minangkabau. This descendant is now called 'Awang-awang Damit' and was chosen by the Sultans of Brunei to be awarded the title of 'manteri' i.e. hereditary state officials.
From Brunei, Dato Godam stopped in Sarawak to meet his father-in-law, Pengiran Temenggong Pengiran Abdul Kadir who settled in Pusa. Not long after the meeting, the father-in-law died so Dato Godam did not continue his journey to Minangkabau. Finally, Dato Godam decided to stay in Pusa until he died and was buried there. The tombs of Dato Godam and his father-in-laws are located near the Telit River. While not far from there is a tombstone of Tandang Sari. The appearance of Dato Godam's wife is very beautiful and it is said that Tandang Sari then committed suicide to avoid slandering the crowd due to the many men who were infatuated and followed her.
Since Dato Godam's death, Manteri Uban did not return to Minangkabau and remained in Serawak. Although he had been to Minangkabau for pilgrimage, he later returned to Serawak. The former ship used to sail to Minangkabau can still be found in Seri Aman, Serawak until now. (Oleh: H. Efri Yoni) Baikoenihttp://baikoeni.multiply.com/journal/item/6/6

Pada waktu itu seorang kerabat diraja Minangkabau yang bernama “Raja Umar” atau dikenal dengan gelar Dato Godam datang ke Brunei dengan menyamar sebagai saudagar. Beliau merupakan keturunan Bendahara Tanjung Sungayang, Pagaruyung.
Ayah Dato Godam yang bernama Bendahara Harun kawin dengan seorang wanita Belanda yaitu anak Jan Van Groenewegen yang menjabat sebagai Residen Belanda di Padang. Menurut adat Minangkabau, Bendahara Harun merupakan anggota “Basa Ampek Balai” yang menjalankan administrasi kerajaan bersama-sama.
Keputusan “Basa Ampek Balai” sebelum dijalankan haruslah mendapat persetujuan dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam merupakan penguasa kerajaan dan menguasai hukum menurut adat yang turun temurun. Raja Ibadat adalah raja yang menguasai hukum Islam sebelum dijalankan di tengah masyarakat.
Dewan “Basa Ampek Balai” tersebut terdiri dari Bendahara di Sungai Tarap, Tuan Gadang di Batipuh, Raja Indomo di Saruaso dan Angku Kadi di Padang Ganting. Setiap perkara yang akan dijalankan dalam masyarakat Minangkabau hendaklah terlebih dahulu dimusyawarahkan dalam rapat “Basa Ampek Balai”. Setelah diputuskan barulah masalah itu dihadapkan kepada Raja Adat dan Raja Ibadat. Apabila pendapat itu tidak bertentangan dengan adat dan hukum Islam barulah disampaikan kepada Raja Alam untuk disahkan.
Pada tahun 1662, Jan Van Groenewegen dipindahtugaskan sebagai pejabat VOC ke Padang setelah sebelumnya menjadi Residen Aceh pada tahun 1660. Dia dikenal memiliki pengalaman luas karena banyak bergaul dengan masyarakat dan mengetahui seluk beluk adat istiadat setempat. Keahliannya dalam administrasi pemerintahan menyebabkannya disukai Sultan Aceh. Apalagi kemampuannya menarik perhatian orang dalam pergaulan. Anak Jan Van Groenewegen kemudian kawin dengan Bendahara Harun yang kemudian melahirkan Dato Godam.
Dato Godam sejak dini telah disiapkan sebagai pengganti ayahnya menjadi Bendahara. Ia merupakan anak sulung dari Bendahara Harun. Namun orang Minangkabau yang fanatik kepada adat sangat memandang rendah kepadanya karena beliau bukanlah putera Minangkabau asli. Meskipun merupakan anak yang layak menggantikan bapak, namun pandangan masyarakat tersebut menyebabkan perasaannya menjadi tidak senang. Hal itulah yang menyebabkan timbul keinginannya untuk “lari” ke Serawak. Kepergiannya itu telah membuat hati bapaknya menjadi sedih sehingga pernah diutus suatu rombongan untuk mencari Dato Godam.
Setelah sampai di Serawak, Dato Godam bertemu dengan Pangeran Tumenggung Pangeran Abdul Kadir. Secara kebetulan kedua-duanya merupakan orang pelarian karena kecewa. Pangeran Tumenggung Pangeran Abdul Kadir “lari” ke Serawak karena kecewa sebab anak perempuannya dipinang oleh Raja Brunei yaitu Sultan Nasruddin untuk dijadikan istri ketiga. Karena rasa senasib sepenanggungan itu, akhirnya Dato Godam menerima ajakan Pangeran Tumenggung Pangeran Abdul Kadir yang masih keturunan bangsawan Brunei untuk pergi ke Brunei.
Dato Godam merupakan seorang yang bijaksana dan terdidik serta memiliki pengetahuan yang tinggi sehingga dirinya cepat dikenal di Brunei. Kehadirannya disambut baik oleh Sultan yang memerintah yaitu Sultan Nasruddin karena dinilai memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam menjalankan pemerintahan. Sultan Brunei meminta Dato Godam menetap di Brunei dan disuruh menikah. Karena merasa “berhutang budi”, Sultan Nasruddin menawari Dato Godam permintaan apa saja untuk dipenuhi. Dato Godam kemudian menyatakan keinginannya mempersunting anak Pengiran Tumenggong Pengiran Abdul Kadir yang menjadi istri ketiga Sultan.
Permintaan tersebut dikabulkan Sultan. Bersama perempuan bernama Tandang Sari inilah, Dato Godam kemudian mendapatkan dua orang anak yaitu Manteri Uban dan Manteri Puteh. Dato Godam berjasa menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi pada waktu itu sehingga beliau semakin disukai Sultan. Apa yang dilakukannya tidak lepas dari pengalamannya di Kerajaan Minangkabau.
Atas permintaan ayahnya Bendahara Harun, Dato Godam bermaksud meninggalkan Brunei untuk kembali ke Minangkabau dengan membawa anaknya, Manteri Uban (nama sebenarnya Abdul Rahman). Dengan berat hati Sultan Nasruddin memberi izin dengan syarat agar anak keduanya, Manteri Puteh tetap tinggal di Brunei sebagai cikal bakal administrator pemerintahan dan diharapkan memiliki loyalitas yang tinggi kepada Sultan sebagaimana yang telah ditunjukkan Dato Godam.
Disamping itu, Sultan Nasruddin berjanji akan menganugerahkan keistimewaan kepada anak cucu Dato Godam sebagai keturunan bangsawan sebagaimana di Minangkabau. Keturunan inilah yang sekarang disebut ‘Awang-awang Damit’ dan dipilih oleh para Sultan Brunei untuk dianugerahi gelar ‘manteri’ yaitu pembesar negara yang turun temurun.
Dari Brunei, Dato Godam singgah di Serawak untuk menemui mertuanya, Pengiran Temenggong Pengiran Abdul Kadir yang menetap di Pusa. Tidak lama sesudah pertemuan tersebut, sang mertua meninggal dunia sehingga Dato Godam tidak meneruskan perjalanannya ke Minangkabau. Akhirnya Dato Godam memutuskan menetap di Pusa sampai meninggal dunia dan dimakamkan di sana. Makam Dato Godam dan mertuanya terletak di dekat Sungai Telit. Sedangkan tidak jauh dari sana terdapat satu batu nisan Tandang Sari. Paras rupa istri Dato Godam tersebut sangat cantik dan konon kabarnya, Tandang Sari kemudian bunuh diri untuk menghindari fitnah orang banyak akibat banyaknya laki-laki yang tergila-gila dan mengikutinya.
Sejak meninggalnya Dato Godam, Manteri Uban tidak kembali ke Minangkabau dan tetap tinggal di Serawak. Meskipun pernah ke Minangkabau untuk berziarah, beliau kemudian kembali lagi ke Serawak. Bekas kapal yang digunakan untuk berlayar ke Minangkabau itu masih bisa ditemui di Seri Aman, Serawak sampai saat ini.(Oleh: H. Efri Yoni) Baikoenihttp://baikoeni.multiply.com/journal/item/6/6

http://jannaton.net/salasilah/SilsilahRajaMinangkabauNSJannatonKaul...


Buku Dato Godam ini merupakan jilid yang pertama. Kandungannya antara lain mencatatkan susur-galur dan jurai keturunan Dato Godam hingga masa kini. Dato Godam atau Raja Umar bin Bendahara Harun adalah putera Diraja Minangkabau yang datang dan berkahwin di Brunei pada zaman pemerintahan Sultan Nasruddin ( Sultan Brunei Ke-15, memerintah 1690-1710). Menurut Sejarah Brunei, khususnya pada zaman yang disebutkan, diriwayatkan bahawa Dato Godam mempunyai peranan yang istimewa dalam membantu Sultan Nasruddin menjalankan pemerintahan dan pentadbiran baginda.

Dato Godam's book is the first volume. Among others, the content is recorded by Dato Datam's descendants to date. Dato Godam or Raja Umar bin Bendahara Harun was the Royal son of Minangkabau who came and married in Brunei during the reign of Sultan Nasruddin (15th Sultan of Brunei, reigning 1690-1710). According to the History of Brunei, especially during the mentioned period, it is narrated that Dato Godam had a special role in assisting Sultan Nasruddin to carry out his rule and administration.

Sebagai mengingati jasa-jasa beliau itu, Sultan Brunei telah berjanji akan mengurniakan keistimewaan kepada anak cucu Dato Godam yang ada di Brunei turun-temurun. Sehingga zaman ini keturunan Dato Godam tersebut dianggap sebagai keluarga yang bertaraf tinggi sebagaimana taraf Dato Godam di Minangkabau, dan mereka digolongkan sebagai keturunan Awang-Awang Damit'. Daripada keturunan Dato Godam inilah juga dipilih oleh Sultan-Sultan Brunei untuk dikurniakan gelaran 'Manteri', iaitu pembesar negara yang turun-temurun, sebagaimana akan dinyatakan riwayat sebahagiannya dalam buku ini.

In remembrance of his services, the Sultan of Brunei has promised to give privileges to Dato Godam's grandchildren who are in Brunei for generations. Until this day, Dato Datam's descendants were considered to be high-class families as Dato Godam in Minangkabau, and they were classified as 'Awang-Awang Damit' descendants. It is also from Dato Godam's descendants that the Sultans of Brunei were also chosen to be endowed with the title 'Manteri', the country's hereditary dignitaries, as will be narrated in part in this book.

Buku ini mengandungi 32 bab yang memaparkan beberapa tokoh utama daripada kalangan keturunan Dato Godam iaitu Manteri Uban, Manteri Puteh, Manteri Omar, Pehin Tuan Iman Awang Aminudin, Pehin Jawatan Dalam Awang Ahad, Awang Untong, Nakhoda Asmat, Pehin Orang Kaya Laila Pahlawan Tunjol, Syed Hasan, Bungku Zaleha, Dayang Sharbanun, Awang Badaruddin, Awang Tahir, Awang Muhammad, Dayang Lamiah, Awang Abu Bakar, Pehin Khatib Haji Awang Abdul Latif, Pehin Datu Perdana Manteri Radin Haji Abdul Rahman, Nakhoda Haji Awang Abbas, Pehin Orang Kaya Ratna Diraja Awang Abdul Karim, Pehin Datu Perdana Menteri, Pehin Orang Kaya Digadong Seri Nara Indera Pengiran Seri Ahmad, Awang Mirasan, Awang Ibrahim, Penglima Othman, Awang Sulaiman, Awang Aliuddin, Manteri Mariam, Awang Abdul Hgafur, Awang Mat Serudin, dan Pehin Orang Kaya Shahbandar Awang Muhammad Salleh. Tokoh-tokoh inilah yang menurunkan zuriat Dato Godam hingga sekarang.

This book consists of 32 chapters featuring several key figures from among Dato Godam's descendants namely Manteri Uban, Manteri Puteh, Manteri Omar, Pehin Tuan Iman Awang Aminudin, Pehin Position In Awang Ahad, Awang Untong, Nakhoda Asmat, Pehin Orang Kaya Laila Pahlawan Tunjol, Syed Hasan, Bungku Zaleha, Dayang Sharbanun, Awang Badaruddin, Awang Tahir, Awang Muhammad, Dayang Lamiah, Awang Abu Bakar, Pehin Khatib Haji Awang Abdul Latif, Pehin Datu Perdana Manteri Radin Haji Abdul Rahman, Nakhoda Haji Awang Abbas, Pehin Orang Kaya Ratna Diraja Awang Abdul Karim, Pehin Datu Prime Minister, Pehin Orang Kaya Digadong Seri Nara Indera Pengiran Seri Ahmad, Awang Mirasan, Awang Ibrahim, Penglima Othman, Awang Sulaiman, Awang Aliuddin, Manteri Mariam, Awang Abdul Hgafur, Awang Mat Serudin, and Pehin Orang Kaya Shahbandar Awang Muhammad Salleh. It is these figures who have brought down Dato Godam's children until now.

Diharapkan buku ini akan dapat menjadi rujukan bagi mereka yang berkenaan dalam menentukan asal usul dan jalinan keluarga masing-masing. Di samping itu akan dapat pula merapatkan semula hubungan kekeluargaan mereka yang bertempiaran supaya tidak akan terus menular mengikut arus yang boleh merenggangkan atau memutuskan hubungan tersebut.

It is hoped that this book will serve as a reference for those concerned in determining the origin and interweaving of their respective families. In addition, they will be able to re-establish their family ties so that they will not continue to spread according to the currents that can strain or break off the relationship.

http://www.pusat-sejarah.gov.bn/b-datogodam-sinopsis.htm


Dari article Menelusuri Jejak Pengaruh "Minangkabau" di Brunei Darussalam, catatan H. Efri Yoni Baikoeni http://baikoeni.multiply.com/journal/item/6

Pada zaman pemerintahan Sultan Nasruddin (Sultan Brunei ke-15) tahun 1690-1710. Pada waktu itu seorang kerabat diraja Minangkabau yang bernama “Raja Umar” atau dikenal dengan gelar Dato Godam datang ke Brunei dengan menyamar sebagai saudagar. Beliau merupakan keturunan Bendahara Tanjung Sungayang, Pagaruyung. Ayah Dato Godam yang bernama Bendahara Harun kawin dengan seorang wanita Belanda yaitu anak Jan Van Groenewegen yang menjabat sebagai Residen Belanda di Padang.

During the reign of Sultan Nasruddin (15th Sultan of Brunei) in 1690-1710. At that time a relative of the Minangkabau royal named "Raja Umar" or known by the title Dato Godam came to Brunei disguised as a merchant. He is a descendant of the Treasurer of Tanjung Sungayang, Pagaruyung. Dato Godam's father, Bendahara Harun, married a Dutch woman, Jan Van Groenewegen's daughter, who served as Dutch Resident in Padang.

Menurut adat Minangkabau, Bendahara Harun merupakan anggota “Basa Ampek Balai” yang menjalankan administrasi kerajaan bersama-sama. Keputusan “Basa Ampek Balai” sebelum dijalankan haruslah mendapat persetujuan dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam merupakan penguasa kerajaan dan menguasai hukum menurut adat yang turun temurun.

According to Minangkabau custom, Bendahara Harun is a member of "Basa Ampek Balai" who runs the royal administration together. The decision of "Basa Ampek Balai" before it is carried out must have the approval of Raja Alam, Raja Adat and Raja Ibadat. Raja Alam is the ruler of the kingdom and controls the laws according to hereditary customs.

Raja Ibadat adalah raja yang menguasai hukum Islam sebelum dijalankan di tengah masyarakat. Dewan “Basa Ampek Balai” tersebut terdiri dari Bendahara di Sungai Tarap, Tuan Gadang di Batipuh, Raja Indomo di Saruaso dan Angku Kadi di Padang Ganting. Setiap perkara yang akan dijalankan dalam masyarakat Minangkabau hendaklah terlebih dahulu dimusyawarahkan dalam rapat “Basa Ampek Balai”. Setelah diputuskan barulah masalah itu dihadapkan kepada Raja Adat dan Raja Ibadat. Apabila pendapat itu tidak bertentangan dengan adat dan hukum Islam barulah disampaikan kepada Raja Alam untuk disahkan.

The King of Worship is the king who controls Islamic law before it is implemented in society. The "Basa Ampek Balai" board consists of the Treasurer in Sungai Tarap, Tuan Gadang in Batipuh, Raja Indomo in Saruaso and Angku Kadi in Padang Ganting. Every matter that will be carried out in Minangkabau society should first be deliberated in the meeting "Basa Ampek Balai". Only then was the matter faced by the King of Adat and the King of Worship. If the opinion does not contradict Islamic customs and law, then it is conveyed to the King of Nature for ratification.

Pada tahun 1662, Jan Van Groenewegen dipindahtugaskan sebagai pejabat VOC ke Padang setelah sebelumnya menjadi Residen Aceh pada tahun 1660. Dia dikenal memiliki pengalaman luas karena banyak bergaul dengan masyarakat dan mengetahui seluk beluk adat istiadat setempat. Keahliannya dalam administrasi pemerintahan menyebabkannya disukai Sultan Aceh. Apalagi kemampuannya menarik perhatian orang dalam pergaulan. Anak Jan Van Groenewegen kemudian kawin dengan Bendahara Harun yang kemudian melahirkan Dato Godam.

In 1662, Jan Van Groenewegen was transferred as a VOC official to Padang after previously becoming Resident of Aceh in 1660. He is known to have extensive experience because he mingles a lot with the community and knows the ins and outs of local customs. His expertise in government administration led him to the favor of the Sultan of Aceh. Moreover, his ability to attract the attention of people in association. Jan Van Groenewegen's son later married Aaron's Treasurer who later gave birth to Dato Godam.

Dato Godam sejak dini telah disiapkan sebagai pengganti ayahnya menjadi Bendahara. Ia merupakan anak sulung dari Bendahara Harun. Namun orang Minangkabau yang fanatik kepada adat sangat memandang rendah kepadanya karena beliau bukanlah putera Minangkabau asli. Meskipun merupakan anak yang layak menggantikan bapak, namun pandangan masyarakat tersebut menyebabkan perasaannya menjadi tidak senang. Hal itulah yang menyebabkan timbul keinginannya untuk “lari” ke Serawak. Kepergiannya itu telah membuat hati bapaknya menjadi sedih sehingga pernah diutus suatu rombongan untuk mencari Dato Godam.

Dato Godam was prepared from an early age as a substitute for his father to become Treasurer. He was the eldest son of Aaron's Treasurer. However, the Minangkabau people who are fanatical about adat look down on him because he is not the original Minangkabau son. Although he is a child who is worthy of replacing his father, the views of the community cause his feelings to be unhappy. That is what caused his desire to "run" to Serawak. His departure had made his father's heart sad so that he was once sent by a group to find Dato Godam.

Setelah sampai di Serawak, Dato Godam bertemu dengan Pangeran Tumenggung Pangeran Abdul Kadir. Secara kebetulan kedua-duanya merupakan orang pelarian karena kecewa. Pangeran Tumenggung Pangeran Abdul Kadir “lari” ke Serawak karena kecewa sebab anak perempuannya dipinang oleh Raja Brunei yaitu Sultan Nasruddin untuk dijadikan istri ketiga. Karena rasa senasib sepenanggungan itu, akhirnya Dato Godam menerima ajakan Pangeran Tumenggung Pangeran Abdul Kadir yang masih keturunan bangsawan Brunei untuk pergi ke Brunei.

After arriving in Serawak, Dato Godam met with Prince Tumenggung Prince Abdul Kadir. Coincidentally, both were runaways because they were disappointed. Prince Tumenggung Prince Abdul Kadir "ran away" to Serawak because he was disappointed because his daughter was invited by the King of Brunei, Sultan Nasruddin, to be his third wife. Because of this sense of fate, Dato Godam finally accepted the invitation of Prince Tumenggung Prince Abdul Kadir who was still a descendant of Bruneian nobles to go to Brunei.

Dato Godam merupakan seorang yang bijaksana dan terdidik serta memiliki pengetahuan yang tinggi sehingga dirinya cepat dikenal di Brunei. Kehadirannya disambut baik oleh Sultan yang memerintah yaitu Sultan Nasruddin karena dinilai memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam menjalankan pemerintahan. Sultan Brunei meminta Dato Godam menetap di Brunei dan disuruh menikah. Karena merasa “berhutang budi”, Sultan Nasruddin menawari Dato Godam permintaan apa saja untuk dipenuhi. Dato Godam kemudian menyatakan keinginannya mempersunting anak Pengiran Tumenggong Pengiran Abdul Kadir yang menjadi istri ketiga Sultan. Permintaan tersebut dikabulkan Sultan. Bersama perempuan bernama Tandang Sari inilah, Dato Godam kemudian mendapatkan dua orang anak yaitu Manteri Uban dan Manteri Puteh. Dato Godam berjasa menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi pada waktu itu sehingga beliau semakin disukai Sultan. Apa yang dilakukannya tidak lepas dari pengalamannya di Kerajaan Minangkabau.

Dato Godam was wise and educated and had high knowledge so that he was quickly recognized in Brunei. His presence was welcomed by the reigning Sultan, namely Sultan Nasruddin because he was considered to have knowledge and proficiency in running the government. The Sultan of Brunei asked Dato Godam to settle in Brunei and was told to marry. Feeling "indebted", Sultan Nasruddin offered Dato Godam any request to fulfill. Dato Godam then expressed his desire to edit Pengiran Tumenggong's son Pengiran Abdul Kadir who became the Sultan's third wife. The request was granted by the Sultan. With this woman named Tandang Sari, Dato Godam then got two children, namely Manteri Uban and Manteri Puteh. Dato Godam was instrumental in solving various problems that occurred at that time so that he was increasingly favored by the Sultan. What he did could not be separated from his experience in the Minangkabau Kingdom.

Atas permintaan ayahnya Bendahara Harun, Dato Godam bermaksud meninggalkan Brunei untuk kembali ke Minangkabau dengan membawa anaknya, Manteri Uban (nama sebenarnya Abdul Rahman). Dengan berat hati Sultan Nasruddin memberi izin dengan syarat agar anak keduanya, Manteri Puteh tetap tinggal di Brunei sebagai cikal bakal administrator pemerintahan dan diharapkan memiliki loyalitas yang tinggi kepada Sultan sebagaimana yang telah ditunjukkan Dato Godam. Disamping itu, Sultan Nasruddin berjanji akan menganugerahkan keistimewaan kepada anak cucu Dato Godam sebagai keturunan bangsawan sebagaimana di Minangkabau. Keturunan inilah yang sekarang disebut ‘Awang-awang Damit’ dan dipilih oleh para Sultan Brunei untuk dianugerahi gelar ‘manteri’ yaitu pembesar negara yang turun temurun.

At the request of his father Bendahara Harun, Dato Godam intended to leave Brunei to return to Minangkabau with his son, Manteri Uban (real name Abdul Rahman). Sultan Nasruddin reluctantly gave permission on condition that his second son, Manteri Puteh remain in Brunei as the forerunner of the government administrator and was expected to have high loyalty to the Sultan as Dato Godam had shown. In addition, Sultan Nasruddin promised to confer privileges on Dato Godam's children and grandchildren as descendants of nobles as in Minangkabau. This descendant is now called 'Awang-awang Damit' and was chosen by the Sultans of Brunei to be awarded the title of 'manteri' i.e. hereditary state officials.

Dari Brunei, Dato Godam singgah di Serawak untuk menemui mertuanya, Pengiran Temenggong Pengiran Abdul Kadir yang menetap di Pusa. Tidak lama sesudah pertemuan tersebut, sang mertua meninggal dunia sehingga Dato Godam tidak meneruskan perjalanannya ke Minangkabau. Akhirnya Dato Godam memutuskan menetap di Pusa sampai meninggal dunia dan dimakamkan di sana. Makam Dato Godam dan mertuanya terletak di dekat Sungai Telit. Sedangkan tidak jauh dari sana terdapat satu batu nisan Tandang Sari. Paras rupa istri Dato Godam tersebut sangat cantik dan konon kabarnya, Tandang Sari kemudian bunuh diri untuk menghindari fitnah orang banyak akibat banyaknya laki-laki yang tergila-gila dan mengikutinya.

From Brunei, Dato Godam stopped in Sarawak to meet his father-in-law, Pengiran Temenggong Pengiran Abdul Kadir who settled in Pusa. Not long after the meeting, the father-in-law died so Dato Godam did not continue his journey to Minangkabau. Finally, Dato Godam decided to stay in Pusa until he died and was buried there. The tombs of Dato Godam and his father-in-laws are located near the Telit River. While not far from there is a tombstone of Tandang Sari. The appearance of Dato Godam's wife is very beautiful and it is said that Tandang Sari then committed suicide to avoid slandering the crowd due to the many men who were infatuated and followed her.

Sejak meninggalnya Dato Godam, Manteri Uban tidak kembali ke Minangkabau dan tetap tinggal di Serawak. Meskipun pernah ke Minangkabau untuk berziarah, beliau kemudian kembali lagi ke Serawak. Bekas kapal yang digunakan untuk berlayar ke Minangkabau itu masih bisa ditemui di Seri Aman, Serawak sampai saat ini.

Since Dato Godam's death, Manteri Uban did not return to Minangkabau and remained in Serawak. Although he had been to Minangkabau for pilgrimage, he later returned to Serawak. The former ship used to sail to Minangkabau can still be found in Seri Aman, Serawak to this day.

(Oleh: H. Efri Yoni) Baikoenihttp://baikoeni.multiply.com/journal/item/6/6

http://jannaton.net/salasilah/SilsilahRajaMinangkabauNSJannatonKaul...


Sinopsis dari Buku Dato Godam I, http://www.pusat-sejarah.gov.bn/b-datogodam-sinopsis.htm

Buku Dato Godam ini merupakan jilid yang pertama. Kandungannya antara lain mencatatkan susur-galur dan jurai keturunan Dato Godam hingga masa kini. Dato Godam atau Raja Umar bin Bendahara Harun adalah putera Diraja Minangkabau yang datang dan berkahwin di Brunei pada zaman pemerintahan Sultan Nasruddin ( Sultan Brunei Ke-15, memerintah 1690-1710). Menurut Sejarah Brunei, khususnya pada zaman yang disebutkan, diriwayatkan bahawa Dato Godam mempunyai peranan yang istimewa dalam membantu Sultan Nasruddin menjalankan pemerintahan dan pentadbiran baginda.

Dato Godam's book is the first volume. Among others, the content is recorded by Dato Datam's descendants to date. Dato Godam or Raja Umar bin Bendahara Harun was the Royal son of Minangkabau who came and married in Brunei during the reign of Sultan Nasruddin (15th Sultan of Brunei, reigning 1690-1710). According to the History of Brunei, especially during the mentioned period, it is narrated that Dato Godam had a special role in assisting Sultan Nasruddin to carry out his rule and administration.

Sebagai mengingati jasa-jasa beliau itu, Sultan Brunei telah berjanji akan mengurniakan keistimewaan kepada anak cucu Dato Godam yang ada di Brunei turun-temurun. Sehingga zaman ini keturunan Dato Godam tersebut dianggap sebagai keluarga yang bertaraf tinggi sebagaimana taraf Dato Godam di Minangkabau, dan mereka digolongkan sebagai keturunan Awang-Awang Damit'. Daripada keturunan Dato Godam inilah juga dipilih oleh Sultan-Sultan Brunei untuk dikurniakan gelaran 'Manteri', iaitu pembesar negara yang turun-temurun, sebagaimana akan dinyatakan riwayat sebahagiannya dalam buku ini.

In remembrance of his services, the Sultan of Brunei has promised to give privileges to Dato Godam's grandchildren who are in Brunei for generations. Until this day, the descendants of Dato Godam were considered as high-class families as Dato Godam in Minangkabau, and they were classified as descendants of Awang-Awang Damit'. It is also from Dato Godam's descendants that the Sultans of Brunei were also chosen to be endowed with the title 'Manteri', the country's hereditary dignitaries, as will be narrated in part in this book.

Buku ini mengandungi 32 bab yang memaparkan beberapa tokoh utama daripada kalangan keturunan Dato Godam iaitu Manteri Uban, Manteri Puteh, Manteri Omar, Pehin Tuan Iman Awang Aminudin, Pehin Jawatan Dalam Awang Ahad, Awang Untong, Nakhoda Asmat, Pehin Orang Kaya Laila Pahlawan Tunjol, Syed Hasan, Bungku Zaleha, Dayang Sharbanun, Awang Badaruddin, Awang Tahir, Awang Muhammad, Dayang Lamiah, Awang Abu Bakar, Pehin Khatib Haji Awang Abdul Latif, Pehin Datu Perdana Manteri Radin Haji Abdul Rahman, Nakhoda Haji Awang Abbas, Pehin Orang Kaya Ratna Diraja Awang Abdul Karim, Pehin Datu Perdana Menteri, Pehin Orang Kaya Digadong Seri Nara Indera Pengiran Seri Ahmad, Awang Mirasan, Awang Ibrahim, Penglima Othman, Awang Sulaiman, Awang Aliuddin, Manteri Mariam, Awang Abdul Hgafur, Awang Mat Serudin, dan Pehin Orang Kaya Shahbandar Awang Muhammad Salleh. Tokoh-tokoh inilah yang menurunkan zuriat Dato Godam hingga sekarang.

This book consists of 32 chapters featuring several key figures from among Dato Godam's descendants namely Manteri Uban, Manteri Puteh, Manteri Omar, Pehin Tuan Iman Awang Aminudin, Pehin Position In Awang Ahad, Awang Untong, Nakhoda Asmat, Pehin Orang Kaya Laila Pahlawan Tunjol, Syed Hasan, Bungku Zaleha, Dayang Sharbanun, Awang Badaruddin, Awang Tahir, Awang Muhammad, Dayang Lamiah, Awang Abu Bakar, Pehin Khatib Haji Awang Abdul Latif, Pehin Datu Perdana Manteri Radin Haji Abdul Rahman, Nakhoda Haji Awang Abbas, Pehin Orang Kaya Ratna Diraja Awang Abdul Karim, Pehin Datu Prime Minister, Pehin Orang Kaya Digadong Seri Nara Indera Pengiran Seri Ahmad, Awang Mirasan, Awang Ibrahim, Penglima Othman, Awang Sulaiman, Awang Aliuddin, Manteri Mariam, Awang Abdul Hgafur, Awang Mat Serudin, and Pehin Orang Kaya Shahbandar Awang Muhammad Salleh. It is these figures who have brought down Dato Godam's children until now.

Diharapkan buku ini akan dapat menjadi rujukan bagi mereka yang berkenaan dalam menentukan asal usul dan jalinan keluarga masing-masing. Di samping itu akan dapat pula merapatkan semula hubungan kekeluargaan mereka yang bertempiaran supaya tidak akan terus menular mengikut arus yang boleh merenggangkan atau memutuskan hubungan tersebut.

This book consists of 32 chapters featuring several key figures from among Dato Godam's descendants namely Manteri Uban, Manteri Puteh, Manteri Omar, Pehin Tuan Iman Awang Aminudin, Pehin Position In Awang Ahad, Awang Untong, Nakhoda Asmat, Pehin Orang Kaya Laila Pahlawan Tunjol, Syed Hasan, Bungku Zaleha, Dayang Sharbanun, Awang Badaruddin, Awang Tahir, Awang Muhammad, Dayang Lamiah, Awang Abu Bakar, Pehin Khatib Haji Awang Abdul Latif, Pehin Datu Perdana Manteri Radin Haji Abdul Rahman, Nakhoda Haji Awang Abbas, Pehin Orang Kaya Ratna Diraja Awang Abdul Karim, Pehin Datu Prime Minister, Pehin Orang Kaya Digadong Seri Nara Indera Pengiran Seri Ahmad, Awang Mirasan, Awang Ibrahim, Penglima Othman, Awang Sulaiman, Awang Aliuddin, Manteri Mariam, Awang Abdul Hgafur, Awang Mat Serudin, and Pehin Orang Kaya Shahbandar Awang Muhammad Salleh. It is these figures who have brought down Dato Godam's children until now.