NM Rara Santang Syarifah Mudaim

public profile

NM Rara Santang Syarifah Mudaim's Geni Profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

NM Rara Santang Syarifah Mudaim

Also Known As: "Putri Ke 67 Kubang Kencana Ningrum", "Syarifah Mudaim"
Birthdate:
Death:
Immediate Family:

Daughter of 1 Embah Baduga (Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa) Ratu Sakti Sangabatan Jaya Dewata Pamanah Rasa Jayadewata and Nyai Nyi Subang Larang [Versi 1] Subang Larang
Wife of Sultan Maulana Sharif Abu Abdu'llah Mahmud Umdat ud-din Sayyid Ali Nur Alam and Muhammad Arifin
Mother of Syarief Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah Mahdoem Gunung Djati; Syarif Nurullah Sultan Muzaffar Syah Raja Champa and Syarif Arifin
Sister of Pangeran Cakrabuana Walangsungsang Haji Abdullah Iman; R. Sangara / Haji Mansur (Sunan Rohmat Godog) / Kian San Tang Sangara; Raden Neu Eukeun; Raden Wastu Dewa (R. Sake); Prabu Munding Sari and 5 others
Half sister of Raden Prabu Hande Limansenjaya,; Banyak Blabur Prabu Surawisesa; Adipadi Banten; Prabu Lajakoesoemah; 1 Sunan Dayeuhmanggung and 38 others

Managed by: Ari Harmedi Memed
Last Updated:

About NM Rara Santang Syarifah Mudaim

Sumber :

http://www.geni.com/documents/view?doc_id=6000000025222198953

http://berandamadina.wordpress.com/

JALUR KETURUNAN ALI NURUL ALAM AZMATKHAN AL-HUSAINI, (Perdana Menteri Kelantan-Pattani kuno, kakek Sunan Gunung Jati) MENURUNKAN :

– Sayyid Abdullah Umdatuddin / Raja Abdullah / WAN BO / Bo Teri-Teri Raja dinasti ahlul bayt di Champa (Vietnam-Kamboja) 1471-1478, BERPUTRA : (Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Syeikh Nurullah, Babullah Ternate, Abdul Muzaffa)

– Wan Abdul Muzaffar, (Saudara Sunan Gunung Jati beda ibu) berputra :

1. Nik Jamaluddin yang berputra 1.a Sultan Adiluddin / Raja Loyor pemula dinasti ahlul bayt pertama Kelantan-Pattani yang mana dinasti ini mempunyai 3 raja; 1. b Raja Ekok / Sultan Samiruddin Raja Patani (1605-1616) yang berputra Sultan Abdul Kadir Raja Pattani 1616-1632 yang mana tahta kemudian berpindah ke Dinasti Jambal

2. Nik Mustafa / Sultan Abdul Hamid Syah / Po Rome Raja Champa 1578-1637. Tentang jalur penulisan keturunannya ada 2 versi yang sama dihormati Rabithah Azmatkhan Al-Husaini

Versi I jalur nasab keturunan Nik Mustafa : (Sumber, poster nasab Rabithah Aal Azmatkhan Al-Husaini bekerjasama dengan Persatuan Pengkajian Khazanah Klasik Nusantara & Khazanah Fathaniyyah – Kuala Lumpur Malaysia)

KETERANGAN INI DIANGGAP TIDAK BENAR KARENA BELIAU TIDAK BERPUTRA

sesuai informasi maka dirubah ;

http://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kelantan

Sultan Mahmud Shah telah menikah dengan Putri Sultan Mansur yang bernama onang Kening, yang kemudian menjadi bunda kepada Raja Perak yang pertama, yaitu Sultan Muzaffar Shah (1528M).



Nyai Rara Santang, seorang puteri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari SRI BADUGA MAHARAJA @ PRABU JAYA DEWATA yang dikenal juga sebagai PRABU SILIWANGI dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang Seorang Muslim yang pernah belajar agama di Pasantren Syekh Quro di Karawang yang didirikan sekitar tahun 1400. Makam dari NYAI RARA SANTANG boleh ditemui di dalam Klenteng di Pasar Bogor berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.


Syarifah Modain.

Wafat di Pakungwati (Cirebon), makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).

Notes on May 18, 2009:

Her name in Joyce FG: Nyai Lara Santang, link to her other profile:

NM Rara Santang Syarifah Mudaim


Nyimas Rara Santang / Syarifah Mudaim

Putri kedua Mbah baduga (Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi Pajajaran), lahir dari Rahim Nyai Subang Karanjang/Subang Larang/Dewi Kumala Wangi sekitar 1427 Masehi.

Menikah dengan Maulana Sultan Mahmud / Syarif Abdullah Azmatkhan penguasa Mesir, memiliki 2 anak yaitu:
1. Syarif Hidayatullah
2. Syarif Nurullah

Sejak kecil Rara Santang sudah belajar dan menta'ati ajaran dari Ibunya tentang keislaman, sampai bermimpi bertemu Rasulullah. Ibunya uyang dulunya santri, sering meninggalkan istana dan belajar bersama kakaknya Raden Walang Sungsang, kepada syekh Quro atau Syeikh Nurjati. Masa kanak-kanak Nyi Mas Rara Santang dihabiskan di Istana Galuh Kawali, akan tetapi setelah ayahnya diangkat menjadi Raja Tanah Sunda beliau kemudian hijrah ke Istana Kerajaan Pajajaran di Pakuwan (Istana Sang Bhima Narayana).

Nyi Mas Rara Santang Lebih memilih keluar Istana bersama kakaknya Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) untuk mengembara dari tempat satu ke tempat lainnya untuk belajar agama Islam. Kisah Nyi Mas Rara Santang tersebut, terdapat dalam naskah Mertasinga Pupuh I-05 sampai dengan II.04. Adapun kisah yang tekandung dalam naskah tersebut adalah sebagai berikut:

Setelah kakak beradik tersebut memutuskan untuk keluar dari Istana Sang Bhima (Istana Kerajaan Pajajaran) dan memilih Islam sebagai jalan hidupnya keduanya berguru keberbagi ulama yang ada di tatar Sunda, hingga kemudian keduanya memutuskan untuk berangkat ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang terakhir.

Raden Walangsungsang dan Nyimas Rara Santang keluar dari keraton Pakuan, pada usia menginjak remaja, Walangsungsang dan Rara Santang pergi berguru pada Syekh Quro, guru Ibundanya (Syekh Quro keturunan Syekh Moh. Yusuf Sodiq, masih keturunan Syekh Zaenal Abidin yang nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW). Syekh Quro memberi pelajaran tentang manfaat membaca solawat tafrijiyah sebanyak seribu kali setiap malam selama 40 malam berturut-turut, insyaallah orang akan dapat bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Setelah pulang ke istana kerajaan Pajajaran, Walangsungsang mengamalkannya. Pada malam terakhir membaca salawat, Walangsungsang bermimpi bertemu nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW.

Setelah beberapa lama tinggal di pondok Ki Danuwarsi, Raden Walangsungsang menikahi putrinya yang bernama Nyimas Endang Geulis.

Pada suatu malam, Rara Santang melakukan hal yang sama, membaca salawat tafrijiyah dan bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi berpesan agar Rara Santang pergi dari keraton menyusul kakaknya Walangsungsang. Pagi harinya, Nyi Rara Sntang menyusul meninggalkan keraton pergi ke arah selatan. Di Gunung Tangkuban perahu, Rara Santang bertemu dengan seorang perempuan bernama Nyi Endang Sukati.

Jika di dalam buku Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais diceritakan bahwa keluarnya Rara Santang dari keraton ayahnya dikarenakan mendapat petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar menyusul kakanya melalui mimpi, maka di dalam buku Carub Kanda yang ditulis tahun 1260 H/1844 M dan dinukil Dadan Wildan (2003: 76-77), diceritakan bahwa keluarnya Rara Santang dari keraton dikarenakan Rara Santang sangat bersedih hati karena ditinggal pergi oleh kakaknya Walangsungsang. Setiap hari meratap hingga tidak tahan dan pergi dari istana Pakuan Pajajaran. Ketika perjalanannya sampai ke Gunung Tangkuban Perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Saketi, ia diberi pakaian sakti sehingga bisa berjalan dengan cepat.

Rara Santang diberi nama nama Nini Benting oleh Nyai Ajar Saketi dan diberi petunjuk ke Gunung Cilawung menemui seorang pertapa. Pertapa ini bernama Ajar Cilawung, dan ia memberi nama Rara Santang menjadi Nini Eling. Ajar Cilawung meramal Rara Santang bahwa ia kelak akan melahirkan seorang anak yang bisa menaklukkan langit dan bumi, dikasihi Tuhan, dan menjadi pemimpin para Wali. Nini Eling selanjutnya diberi petunjuk agar pergi ke Gunung Merapi. Agak berbeda dengan cerita dalam buku Carub Kanda, buku Sejarah Cirebon yang ditulis Haji Mahmud Rais menceritakan bahwa nama orang sakti yang ditemui Rara Santang di Gunung Tangkuban Perahu bukan bernama Nyai Ajar Sekati, tetapi Nyai Endang Sukati. Nyai Endang Sukati kemudian menyuruh Rara Santang pergi ke Argaliwung dan berpesan untuk bertemu Ki Ajar Sekti. Nyi Endang Sukati memberi pusaka berupa pakaian bernama hawa mulia. Pakaian itu jika dipakai berjalan, kaki tidak akan menyentuh tanah, bisa berjalan di atas air, tidk akan terbakar jika terkena api, bisa berjalan lebih cepat dari angin.

Pada saat tiba di Angaliwung, Ki Ajar Sekti sudah menunggu dan menyarankan agar Rara Santqng berangkat lagi ke gunung merapi untuk menemui Walangsungsang yang telah meikah dengan Nyi Endang Ayu atau Nyimas Endang Geulis, putri Sang Hyang Ki Danuwarsih. Rara Santang menuruti petunjuk Ki Ajar Sekti dan berangkat ke Gunung Merapi untuk bertemu dengan kakaknya.

Pada buku (Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais) 11 diceritakan bahwa, ketika Walangsungsang dan Rara Santang pergi meninggalkan Keraton, ibundanya, Nyi Subang Karanjang sangat bersedih. Hal tersebut artinya menunjukkan bahwa Nyi Subang Karanjang masih hidup, sementara pada buku CPCN diceritakan Nyi Subang Keranjang sudah meninggal. Informasi yang mana sebenarnya yang benar, hal ini perlu dikaji lebih mendalam.

Selain itu, pada buku CPCN (1720 M) 12 diceritakan bahwa yang memberi nama Ki Samadullah pada Walangsungsang adalah Syekh Nurjati, tetapi pada buku Carub Kanda (1260 H./1844 M), Sang Hyang Danuwarsi memberi nama Walangsungsang Samadullahi.

Perjalanan berikutnya, Rara Santang menyusul kakaknya di kediaman Sang Hyang Ki Danuwarsi. Sang Hyang Ki Danuwarsi menyuruh Walangsungsang, Rara Santang, dan Nyi Endang Ayu untuk pergi menuntut agama Islam. Ki Danuwarsi memberi bekal empat macam benda pusaka, yakni:

  1. Sebuah cincin bernama cincin Ampal. Cincin ini jika digunakan, maka pemakainya dapat mengetaui hal-hal yang gaib, merawat segala macam benda dengan selamat, dan cita-cita bisa terkabul.
  2. Sebuah baju Kamemayan. Jika baju dipakai, yang memakai tidak kelihatan oleh orang lain dan dapat menggagalkan maksud jahat dari orang lain.
  3. Baju Pengabaran. Jika dapakai dapat menimbulkan keberanian menghadapi musuh.
  4. Baju Pengasihan. Jika dipakai akan disukai oleh orang lain.

Setelah memberi baju pusaka ini, Ki Danuwarsi menyarankan Walangsungsang dan istrinya beserta Rara Santang untuk berangkat menemui Sang Hyang Nago di gunung Ciangkui. Dari Sang Hyang Nago, Walangsungsang dan Rara Santang diberi ilmu:
1. Kadewan, ilmu ini untuk memperkuat keagamaan dan tidak dapat melupakannya.
2. Kapilisan, ilmu ini bisa membuat seseorang disegani dan dikasihani seluruh makhluk.
3. Kateguhan, ilmu untuk keteguhan, kekebalan, kekuatan.
4. Pengikutan, ilmu untuk mempengaruhi segala makhluk.
5. Golok Cabang, untuk menghancurkan segala macam benda.

Setelah memberi berbagai ilmu dan benda pusaka ini, Sang Hyang Nago menyuruh Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang berangkat ke Gunung Numbang untuk menemui Sang Hyang Naga. Ketiganya bertemu Sang Hyang Naga, mereka diberi ilmu:

  • Ilmu Kesakten (kesaktian), Ilmu Aji Trimurti, Ilmu berbuat baik, Ilmu Limunan yang dapat bersembunyi di dalam terang, Ilmu Aji Dwip, untuk mengetahui semua pembicaraan orang.
  • Beberapa benda pusaka: Baju waring, untuk bisa terbang, topong waring, untuk bisa menghilang, umbul-umbul waring, untuk memperoleh harta halal, batok bolu, untuk ikat pinggang.

Pada buku Sejarah Cirebon ini Sang Hyang Nago menyuruh Walangsungsang beserta istri dan adiknya untuk menemui Sang Hyang Naga di Gunung Numbang, tetapi di dalam buku Carub Kanda diterangkan ketiganya disuruh menemui seorang pertapa tua bernama Nagagini di Gunung Kumbing. Sang Hyang Naga atau Nagagini ini memberi nama Walangsungsang Krakadullah. Selanjutnya, Sang Hyang Naga (nama yang tertera dalam buku Sejarah Cirebon) menyarankan Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang untuk menemui Ratu Bangau di gunung Cangak. Gunung Cangak ini sekarang berlokasi sekitar daerah Mundu, lima kilometer sebelah Timur Kota Cirebon.
Walangsungsang dan adiknya diberi tiga azimat:

  • Panjang, berupa sebuah piring besar, jika ditengkurepkan akan keluar nasi kebuli dan lauk pauknya.
  • Pendil, sebuah tungku untuk menanak nasi, jika diisi nasi di dalamnya tidak akan pernah habis.
  • Bareng, sebuah gong berukuran kecil, jika dipukul akan keluar sepuluh ribu prajurit. Di dalam buku Carub Kanda yang dinukil Dadan Wildan, Walngsungsang diberi nama Raden Kuncung oleh Sang Hyang Bangau.

Setelah diberi ilmu oleh Sang Hyang Bangau, Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang disarankan untuk menemui Syekh Nurjati di Gunung Jati. Setelah bertemu Syekh Nurjati, Walangsungsang, istrinya, dan Rara Santang di dituntun untuk membaca syahadat, dan diberi pemahaman tentang arti dan maksudnya secara mendalam. Pelajaran yang diterima dari Syekh Nurjati dapat dirinci sebagai berikut:

Firman Allah: Ya ayyuhalladzina aamanu udkhulu fissilmi kaffah (Wahai orang yang beriman, masuklah ke dalam agama Islam secara kafah).

Syekh Nurjati mejelaskan kandungan ajaran Islam yang pokok, yakni mengenai Shalat 5 waktu, Zakat, Puasa, ibadah haji, Umrah, Perang sabil, Ajakan ke arah kebaikan, Menolak kemungkaran, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama, Ilmu-ilmu keduniaan dan keakhiratan (syari'at, hakikat, ma'rifat).

Syekh Nurjati juga menjelaskan pada Rara Santang dan Walangsungsang mengenai makna dan hikmah perjalanan dalam mencari agama Islam. Pertemuan dengan Sang Hyang Ki Danuwarsi serta pemberian cicin ampal dan beberapa baju mengandung arti dan hikmah bahwa, keduanya akan bertemu dengan para alim ulama dan para ambiya.

  • Kata ampal dari cincin ampal berasal dari kata fa ti bimaa anfaan nassar (suruhan untuk berusaha kearah apa yang membawa manfaat bagi manusia).
  • Azimat ilmu kadewan dari Sang Hyang Nago memiliki makna, kadewan diambil dari kata dewaa uddiini (obatnya agama). Artinya, seseorang yang mengaku beragama memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu agar memiliki ilmu.
  • Ilmu kapilisan dari Sang Hyang Nago memiliki arti, kapilisan dari kata falaesa lil insaani nis-yaanudz dzikri, suatu anjuran agar manusia senantiasa mengingat Allah SWT.
  • Ilmu kateguhan berasal dari kata falaysalil goniyi bahilurr, artinya tidak pantas bagi orang yang kaya berlaku kikir.
  • Golok cabang diambil dari kata khulikho lisab ati asyyaa-a, artinya jika seseorang ingin mendapatkan apa yang dicita-citakan harus menerima ketetapan 7 anggota badan.
  • Ilmu Halimunan yang bisa bersembunyi di dalam terang, artinya jangan memiliki sifat ingin benar sendiri. Ilmu at titi murti, dari kata fa ati bimaa umirta, artinya lakukanlah segala perintah kebaikan.
  • Azimat topong (totopong waring, jika dipakai tidak bisa dilihat orang lain), artinya, jika rahasia keburukan tidak ingin diketahui orang lain, maka harus mengucap " ud u lillahi ala jami annasi bittaqwa ", artinya ajaklah semua orang untuk berbuat takwa kepada Allah.
  • Pusaka baju waring, jika digunakan bisa terbang bertuliskan qolbul khosi imabruurun, artimya hati seseorang yang khusu, serius, konsentrasi bisa diterima oleh Allah. Pada umbulumbul waring terdapat tulisan "hai manusia, carilah harta benda dengan cara yang sebaik-baiknya, jangan asal memperoleh saja".
  • Panjang dari Ratu Bangau bermakna, bahwa dalam bersyiar Islam kelak, akan dibantu oleh para Wali. Pendil merupakan petunjuk ke arah jalan menuju agama yang lurus.
  • Bareng, bermakna segala perbuatan harus berdasar pada tiga perkara, yakni syari'at, tarikat, hakikat.

Setelah berguru ke Syekh Nurjati selama tiga tahun dan dianggap cukup, Walangsungsang dan Rara Santang pergi naik haji ke Mekah. Ketika di Mekah, Ki Cakrabuana atau Walangsungsang dan Nyi Rara Santang berguru agama Islam ke Syekh Abulyazid.

Walangsungsang dan istrinya Nyimas Endang Geulis, serta Rara Santang, dianggap sudah mumpuni dalam pelajaran dasar agama Islam dan disarankan mendirikan padukuhan baru di Kebon Pesisir, Lemah Wungkuk (tegal alang-alang). Pada saat membuka padukuhan ini Raden Walangsungsang diberi gelar oleh gurunya dengan nama Ki Samadullah. Di sinilah Ki Samadullah beserta isteri dan adiknya Nyi Rara Santang, menidirikan Tajug di Jalagrahan (Tajug Jalagrahan sekarang) dan membuat Gubug. Pedukuhan Kebon Pesisir terletak di arah selatan Gunung Jati. Di tempat ini, mereka bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Ki Pangalangalang (Ki Gedeng Alang Alang).

Ketika tiba di tempat ini Ki Samadullah mengucap "lamma waqo itu" (ketika saya telah tiba), dan ucapan ini mengabadi menjadi nama Lemah Wungkuk. Ki Pangalangalang menyambut mereka dan menganggapnya sebagai anak. Aktifitas yang dilakukan Rara Santang dan Ki Samadullah dalam kehidupan sehari-hari ketika membuka padukuhan baru adalah, di siang hari Ki Samadullah membabad hutan, di malam hari mencari ikan di tepi laut. Sementara, istri dan adiknya (Rara Santang) bekerja menumbuk rebon (udang kecil) dibuat terasi.

Perkampungan yang dibuat Ki Samadullah beserta istri dan adiknya (Rara Santang) makin lama makin besar dan dinamai Gerage. Padukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Ki Samadullah dipilih mejadi pemimpin padukuhan (kuwu) yang II.

Pada buku lain diceritakan bahwa, pada saat Rara Santang bersama kakak dan istrinya mendirikan padukuhan di Kebon Pesisir, mereka tinggal bersama Ki Danu Sela dan istrinya. Dukuh baru di Cirebon ini didirikan pada tahun 1445 M. Mereka membuat rumah pertama dan disebut Witana. Setelah sukses mendirikan padukuhan baru, Nyi Mas Rara Santang dan Pangeran Walasungsang atau Cakrabuana dianjurkan pergi haji oleh Syekh Datul Kahfi. Akan tetapi tanpa disertai Nyi Endang Ayu karena sedang mengandung. Di dalam buku Carub Kanda yang dinukil Dadan Wildan, Cakrabuana membuka hutan dengan menggunakan golok cabang, sehingga sangat cepat selesai. Para penghuni Kebon pesisir ini memberi nama Cakrabumi/Cakrabuana dengan sebutan Kuwu Sangkan Kebon.

Daerah Kebon Pesisir makin lama makin ramai dan diberi nama Caruban. Ki Gedeng Alang-alang sebagai salah satu pendatang di padukuhan Kebon Pesisir akhirnya menjadi mertua Ki Samadullah. Oleh Masyarakat, Ki Gedeng Alang-alang dipilih menjadi Kuwu, dan Ki Samadullah menjadi Pangraksabumi dengan gelar Ki Cakrabuana.

Menjalankan pesan gurunya, Syekh Nurjati, Walangsungsang dan Rara Santang pergi haji dengan menumpang perahu. Syekh Nurjati menyarankan agar keduanya menemui Syekh Ibrahim di Campa terlebih dahulu.
Di Campa, keduanya mendapat wejangan dari Syekh Ibrahim dan diutus menyampaikan dua pucuk surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Rara Santang dan Walangsungsang sampai di Mekah malam Jum'at, 25 Rajab. Keduanya mendatangi Syekh Bayan dan Syekh Abdullah untuk menyampaikan surat dari Syekh Ibrahim.

Di dalam buku Sejarah Cirebon karangan Haji Mahmud Rais diterangkan bahwa orang yang melamar Rara Santang bukan bernama Sultan Abdullah, tetapi Sultan Iskak dan dilamar di rumah Syekh Bayan. Dengan perundingan yang disepakati kedua belah pihak, Rara Santang dan Abdullah Iskak (Sultan Hud), maka lamaran diterima. Pernikahan dilangsungkan di kerajaan Bani Israil, disaksikan oleh Syekh Bayan, Abdullah Iman (sang kakak), ulama-ulama, dan para pembesar kerajaan.

Dalam buku Babad Cerbon terbitan Brandes yang di nukil Dadan Wildan diterangkan bahwa Qodi Jamaluddin yang diutus Raja Bani Israel untuk mencarikan istri, melihat perempuan yang mirip dengan istri Raja Bani Israel yang telah meninggal. Perempuan tersebut berasal dari Pajajaran yang pergi haji bersama saudara laki-lakinya, dan tinggal di Baitul Muqodas. Sang Raja segera mengutus Qodi untuk mengundangnya ke Istana untuk diberi berbagai hadiah. Dengan rasa yang tidak menentu perempuan yang bernama Rara Santang dan Walangsungsang tersebut mengabulkan undangan Raja atau Sultan Hud. Pada pertemuan itu, Raja meminang Rara Santang untuk menjadi istrinya.

Singkat cerita, buku ini juga menerangkan bahwa akhirnya Rara Santang menerima pinangan Sang Raja Bani Israel yaitu Sultan Hud tersebut. Perbedaannya dengan keterangan buku CPCN dan buku Sejarah Cirebon, Rara Santang diundang Sang Raja ke istana untuk menerima hadiah, dan ternyata bukan untuk menerima hadiah, tetapi untuk dipinang. Perbedaan lain, dalam buku Babad Cerbon terbitan Brndes ini diterangkan secara detail bahwa di pesta pernikahan Rara Santang dan Walangsungsang dihadiri oleh para imam seperti Imam Syafi'i, imam Hambali. imam Maliki, dan Imam Hanifah.

Nyi Rara Santang mau dilamar oleh raja tersebut dan bersedia menikah dengan syarat, apabila kelak melahirkan putra lelaki, maka harus pulang ke tanah leluhur untuk berdakwah Islamiah dan menjadi wali di Pulau Jawa, dan permintaan tersebut dikabulkan oleh Raja Bani Israil atau Sultan Hud.

Di negeri Bani Israil dua tahun kemudian, Syarifah Mudaim (Rara Santang) melahirkan seorang putra lagi, diberi nama Syarif Nurullah. Tidak lama setelah kelahiran putra keduanya, Sultan Hud suaminya meninggal dunia. Rara Santang membesarkan ke dua anaknya tanpa suaminya hingga anak-anaknya dewasa. Setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, ia ingin menjadi guru agama Islam dan berangkat ke Mekah. Di Mekah Syarif Hidayat belajar kepada Syekh Tajuddin Al Kubri selama 2 tahun, kepada Syekh Ata ullahi Sadzili pengikut Imam Syafi'i 2 tahun, kemudian pergi ke Bagdad belajar tasawuf. Setelah selesai menuntut ilmu di Bagdad, Syarif Hidayat kembali ke Mesir.

Syarif Hidayatullah tidak ingin menjadi raja, oleh karenanya, kedudukan sebagai raja diserahkan pada adiknya Syarif Nurullah. Nyi Mas Rara Santang dan Raja Syarif Abdullah berputra Syekh Syarif Hidayatullah, Syekh Nurullah,.Syekh Syarif Hidayatullah kelak menjadi anggota Wali Sanga di Pulau Jawa dan terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, sekaligus menjadi khalifah di Caruban Nagari. Sementara Syekh Narullah menjadi Raja di Mesir, menggantikan ayahnya Raja Syarif Abdullah.

Berjalan seiring waktu, setelah Syarif Hidayat dewasa, ia berpamitan pada ibundanya, Rara Santang untuk pergi mencari Nabi Muhammad SAW. Kepergian tersebut telah memakan waktu sepuluh tahun sehingga Rara Santang dirundung kerinduan pada putranya. Rara Santang selalu berdoa agar anaknya selamat dilindungi Tuhan. Dalam mimpinya, Rara Santang mendengar suara: Anakmu yang muda itu akan menjadi Raja, keratonnya di Bani Israel, bergelar Abdul Syapingi. Jika engkau benar-benar merindukan anakmu Syarif Hidayat, sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa. Rara Santang kembali ke Pulau Jawa dan bertemu dengan Syekh Nurjati yang memberinya nama Babu Dampul.

Pada saat berikutnya diceritakan dalam Carub Kanda bahwa Syarif Hidayat pergi ke Gunung Jati menemui ibundanya. Pada saat menemui tersebut ibundanya telah menjadi seorang pertapa perempuan yang bernama Babu Dampul. Nyi Mas Rara Santang/Sarifah Mudaim/Babu Dampul menghabiskan masa hayatnya, menjadi perempuan utama, dan setelah meninggal dikebumikan di pemakaman Gunung Sembung, di dalam gedung paling atas. Posisi makam perempuan utama Sarifah Mudaim tersebut terletak pada urutan keempat, dari arah sebelah Barat ke Timur. Urutan pertama Nyai Gedeng Tepasan, kedua, Susuhunan Jati, ketiga, Ratu Bagus Pase/Padhillah, keempat, Saripah Mudaim, kelima, Nyai Gedeng Sembung/Nyai Ageng Sampang/Nyai Gede Kancingan/ iitri Susuhunan Jati yang tidak berputra.

Nyi Mas Rara Santang sangat besar perannya dalam mendidik, mengarahkan, dan mendukung putra-putranya untuk mempelajari dan mensyiarkan agama Islam. Peran tersebut bahkan sudah dilakukan sejak sebelum menerima pinangan Sultan Abdullah dari Mesir. Rara Santang berkenan menerima pinangan Sultan Abdullah dengan syarat, jika putranya sudah dewasa kelak, hendaknya diijinkan untuk pulang ke tanah Jawa untuk mensyiarkan ajaran Islam di Jawa.

Apa yang diminta Rara Santang dikabulkan oleh Sultan dan pinangan tersebut diterima. Rara Santang sangat teliti dan tekun mengajarkan nilai-nilai Islam kepada putra-putranya. Banyak mutiara nasihat yang berharga bagi anak cucunya kelak. Di antara jasa-jasanya dalam mengembangkan ajaran Islam adalah dengan mendidik anak-anaknya agar menjalankan dan mensyiarkan ajaran Islam.
Nasihat-nasihatnya antara lain: "Engkau kuizinkan pergi anakku, akan tetapi berhati-hatilah. Aku bekali engkau uang seribu dinar dan tasbih peninggalan ayahmu, lumayan untuk penolak bala. Juga bawalah serta para pengawal".
Sang anak pun menjawab: "Baiklah ibu, akan tetapi mengenai pengawal seorang pun tidak akan kubawa, akan tetapi pemberian uang seribu dinar itu akan kubawa, barangkali menemui halangan atau kekurangan. Ibu, ananda mohon nasihat untuk menghadapi hidup yang akan kujalani ini".

Sang ibu berkata dengan lembut: "He anak isun gusti, sira aja malas kacung ya ingkang ngebattebat. Kacung aluku kang bedami, lawan aja turu yen ora arip, lawan sira aja mangan yen ora katekan ngelih, lawan aja nginum sira yen ora katekan garing.iku kang telu perkawis, ya lakunana kacung lawan aja sumakeyan ingkang iku ora becik. Ingkang becik ana diri ing manusa. Datan bathi wong takabur, yaiku temahe dhoip. Balik pasraha ing Allah, tur kuat temahe dadi. Sira nyawa kang sun puji, anemua giri sarku tasik legi".

Artinya : "Anakku terkasih, dalam hidup ini janganlah kamu berlebihan. Anakku, utamakanlah berdamai. Janganlah tidur kalau tidak mengantuk, dan janganlah makan kalau tidak lapar, dan janganlah minum kalau tidak haus, itulah tiga perkara yang harus kau ingat. Janganlah angkuh, karena hal itu tidak baik, dan berbuatlah selalu kebaikan kepada sesama manusia. Tak ada untungnya engkau takabur, karena itu mengakibatkan kelemahan. Serahkanlah kepada Allah sehingga kesudahannya engkau akan menjadi kuat. Engkau kekasih yang ku puja, carilah gunung kebahagiaan dan danau kenikmatan".

Selesai menerima nasihat dari ibundanya, Sarif Hidayat lalu bersimpuh di pangkuan ibundanya. Setelah mejalani usia senja, Nyi Mas Rara Santang dijemput kembali ke Caruban Nagari hingga wafatnya. Beliau dimakamkan di Jinem Gunung Sembung.

Penutup : Nyi Mas Rara Santang adalah sosok putri raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Keranjang- yang sejak kecil gigih mendalami agama Islam. Sejak remaja, bersama kakaknya Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang telah belajar agama Islam ke Syekh Quro di Kerawang. Hal yang sulit dilakukan mengingat ayahandanya adalah seorang raja yang beragama Budha. Berkat ibundanya yang sangat kuat beragama Islam, dan senantiasa mendidik ajaran Islam, maka Nyi Mas Rara Santang pun sangat gigih mencari agama Islam. Ketika keluar dari keraton untuk menyusul kakaknya, Rara Santang berjuang dan banyak mengalami kesulitan di perjalanan. Keluar dan masuk hutan ia alami. Dalam perjalanan menyusul kakaknya tersebut, banyak bertemu dengan guru yang memberinya ilmu, yaitu Nyi Endang Saketi, Sang Hyang Danuwarsi di mana kakaknya telah lebih dulu berada dan menjadi menantu Ki Danu Warsi. Setelah itu melanjutkan mencari agama Islam bersama kakak dan isterinya menuju Amparan Jati untuk berguru ke Syekh Nurjati.

Akan tetapi, di perjalanan bertemu dengan Sang Hyang Naga, Sang Hyang Nago, dan Ratu Bangau di sekitar daerah Mundu sekarang. Dari semua tokoh-tokoh penting ini Rara Santang dan kakanya mendapatkan ilmu dari mereka. Setelah melakukan perjalanan panjang tersebut, maka akhirnya sampailah di Amparan Jati menemui Syekh Nurjati dan berguru agama Islam ke padanya. Syekh Nurjati segera menuntun Rara Santang dan Walangsungsang untuk mengucapkan 2 kalimah syahadah, seklipun keduanya telah memeluk Islam sejak kecil. Rincian ajaran yang diberikan Syekh Nurjati adalah; mengenai shalat 5 waktu, Zakat, Puasa, ibadah haji, Umrah, Perang sabil, Ajakan ke arah kebaikan, Menolak kemungkaran, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama, Ilmu-ilmu keduniaan dan keakhiratan, syari'at, hakikat, ma rifat).

Setelah dirasa cukup dalam mendalami ajaran Islam, Syekh Nurjati menyarankan pada Rara Santang dan Walangsungsang untuk menjalankan ibadah haji ke Mekah. Pada saat menjalankan ibadah haji ini Rara Santang menemukan jodohnya, Raja Bani Israil, dan menikah di negeri Mesir. Dari Pernikahan ini melahirkan dua orang Pputra, yakni Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan sultan Nurullah. Sultan Nurullah melanjutkan memerintah kerajaan ayahandanya.

Rara Santang berperan penting dalam mensukseskan putranya sehingga menjadi seorang waliyullah yang sangat termasyhur namanya. Sejak menerima pinangan dari Raja Mesir, Sultan Abdullah atau Sultan Hud, Rara Santang telah menyampaikan cita-citanya pada calon suaminya agar anaknya kelak diperbolehkan menjadi seorang ulama di tanah Jawa. Cita-cita itupun diwujudkan oleh Rara Santang dengan mendidik anaknya, memberi restu menuntut ilmu dengan menemui Nabi Muhammad SAW melalui Khalwatnya di Mekah hingga puluhan tahun tidak bertemu dengan anaknya. Rara Santan1g juga memberi restu pada Syarif Hidayatullah ketika akan pergi ke tanah Jawa, hingga Rara Santang menyusulnya.

Wallahu'aklambhisshowab...

Pernikahan Dengan Syarif Abdullah

Kisah perjalanan ibadah Hajinya kakak beradik anak dari Raja Sunda ternama itu pada nantinya mengantarkan Nyi Mas Rarasantang bertemu dengan jodohnya. Nyi Mas Rara Santang dinikahi oleh Sultan Hud penguasa Mesir dan Palestina saat beliau berada di Mekah.

Menikah dengan Syarif Abdullah, seorang sultan Campa keturunan dinasti Abbasyiah. Nasabnya sampai kepada Rasulullah di garis ke-22 hingga gelar syarif melekat pada sang ayah. Kakek buyutnya, Jamaludin Akbar al-Husaini adalah putra Ahmad Syah Jalaluddin Gubernur Malabar, sebuah propinsi yang masuk dalam wilayah kesultanan Delhi. Kesultanan Delhi sendiri dipimpin oleh kakaknya: Amir Syah Jalaluddin.

Kerajaan Champa (bahasa Cham: Nagarcam; bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, tetapi hubungan antara Lin-yi dan Champa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Cham termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Lewat kisah lisan Aji Saka juga menyebutkan hubungan keduanya. Dalam legenda itu, disebutkan bahwa ia sempat tinggal di Champa dan menikah dengan Putri Prabawati di sana. Kunjungan itu terjadi setelah ia menyebarkan agama Hindu di Pulau Jawa.

Pada masa Champa di bawah Jaya Simhawarman III turut andil dalam menghalangi serbuan Mongol ke tanah Jawa. Karena sebelumnya, Kertanegara dari Singhasari menikahkan Simhawarman dengan putrinya, Putri Tapasi, dengan tujuan memperkuat kerjasama ekonomi. Dampaknya, ketika Jaya Simhawarman III mengetahui rencana invasi Mongol ke Jawa dengan membawa 1.000 kapal, ia melarang mereka transit di pelabuhan Champa. Pelarangan ini memaksa bangsa Mongol harus berlayar non-stop 40.000 kilometer yang sangat berisiko.

Risiko pelyaran itu bagi bangsa Mongol berupa ombak yang begitu tinggi, angin dan kencang, dan persediaan makanan yang habis karena keadaan demikian. Peran Champa di Jawa hadir lewat Ratu Dwarawati, permasuri Brawijaya V yang merupakan putri raja Champa yang sudah memeluk Islam. Ketika dia mendampingi suaminya, ia memiliki peran membantu perpolitikan Majapahit yang tercerai berai.

Meski nasihatnya banyak dipenuhi oleh raja, sikap ini justru menjadi kritik bagi masyarakat Majapahit. Bahkan, menurut Andi Farid Hidayanto dalam jurnal Eksis (Vol.8 Maret 2014) Ki Agung Kutu Suryongalam dari Wengker menyindir Brawijaya V dan Ratu Dwarawati lewat kesenian reog.

Pada 1471, Vijaya (kini Qui Nhon) ibukota Champa jatuh di tangan Dai Viet. Ibrahim dan Putranto menyebut, babak ini menjadi awal dari berakhirnya pengaruh kebudayaan India di Vietnam. Dai Viet dalam penyerangannya menghancurkan kota, menjarah, dan genosida terhadap puluhan ribu warga.

Penyerangan ini membuat kuasa Kerajaan Champa menyusut di Vietnam selatan, tepatnya di Kauthara (Nha Trang) dan Padunranga (Phan Rang). Tetapi kondisinya yang menyusut, secara militer patut diperhitungkan pada masanya.

Misalnya pada 1594, kerajaan kecil itu sempat mengirim pasukan untuk membantu Kesultanan Malaka yang berperang melawan Portugis. Dua tahun berikutnya, ketika Spanyol tiba di Phnom Penh, catatan sejarah menemukan adanya relawan Champa untuk membantu raja Kamboja.

Kerajaan Champa juga eksis pada 1641 ketika Belanda berhasil menaklukan Portugis di Semenanjung Malaya. Tercatat bahwa Champa membuka hubungan dagang dengan VOC. Keluarga kerajaan juga sempat datang ke Batavia pada 1680 untuk kerja sama.

Hubungan Champa dengan kerajaan-kerajaan di kepulauan Asia Tenggara terekam dalam prasasti mereka. Disebutkan dalam prasasti Champa, bahwa Sriwijaya merupakan tempat asal singa untuk persembahan Champa kepada Dinast Song pada 1011. Singa bukanlah hewan endemik di Asia Tenggara. Tetapi karena Sriwijaya yang menguasai jalur utama perdagangan laut, mereka kerap didatangi pengusaha-pengusaha dari Jazirah Arab, Persia, dan Tiongkok.

Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India:

  • Indrapura - Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini termasuk provinsi-provinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế sekarang ini di Vietnam.
  • Amaravati - Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan provinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam.
  • Vijaya - Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa mil di sebelah utara kota Qui Nhon di provinsi Bình Định di Vietnam. Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah provinsi-provinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan Phu Yen.
  • Kauthara - Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di provinsi Khánh Hòa sekarang ini di Vietnam.
  • Panduranga - Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di provinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.

Di antara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya, sementara suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar suku.

Penaklukan Vietnam

Tahun 1451 Kerajaan Islam Champa diserang kerajaan Buddha dari pedalaman.[4] Para penguasa Champa di Panduranga (Nagar Champa) yang terbentuk pada pertengahan abad ke-15, melakukan perlawanan terhadap Vietnam dan pada tahun 1695 melalui perundingan memperoleh status kepangeranan otonom (Tran Thuan Thanh) di bawah Dinasti Nguyen dari Cochinchina. Kerajaan Champa kemudian menjadi negara bawahan yang setia dari Kaisar Gia Long dari dinasti Nguyen, tetapi pada akhirnya kedaulatannya dibubarkan pada tahun 1832 oleh anak Kaisar Gia Long, yaitu Kaisar Minh Mạng. Pada masa peperangan dengan Vietnam, banyak penduduk Champa termasuk para aristokratnya yang mencari perlindungan di Kamboja, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi.

Legenda Minangkabau

Di dalam legenda atau tambo dari Minangkabau (Sumatra Barat), terdapat seorang tokoh pendekar yang bergelar Harimau Campo atau "Harimau Champa", selain nama-nama lainnya. Harimau Campo ini bersama dengan Datuak Suri Dirajo, Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim merumuskan konsep dari bela diri Minangkabau yang dinamakan silek atau (silat). Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim sama statusnya dengan Harimau Campo, mereka adalah pendatang dari negeri asing ke daerah Minangkabau pada masa dahulunya. Sampai saat sekarang, nama Harimau Campo tetap disebut-sebut dalam sasaran silek (padepokan silat) di Minangkabau sebagai salah satu basis dari gerakan silat mereka.