R. Sangara / Haji Mansur (Sunan Rohmat Godog) / Kian San Tang Sangara

public profile

Is your surname Sangara?

Research the Sangara family

R. Sangara / Haji Mansur (Sunan Rohmat Godog) / Kian San Tang Sangara's Geni Profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

R. Sangara / Haji Mansur (Sunan Rohmat Godog) / Kian San Tang Sangara

Also Known As: "deceased"
Birthdate:
Death:
Immediate Family:

Son of 1 Embah Baduga (Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi II (Raden Pamanah Rasa) Ratu Sakti Sangabatan Jaya Dewata Pamanah Rasa Jayadewata and Nyai Nyi Subang Larang [Versi 1] Subang Larang
Husband of Dewi Rengganis Situ Patengan and Nyai Kalimah / Halimah / Nyai Gedeng Kalisapu
Father of Pangeran Ayan Permana Prabu Kuncung Putih Pasarean .
Brother of Pangeran Cakrabuana Walangsungsang Haji Abdullah Iman; Nyai NM Rara Santang [versi 1] Santang, Putri Ke 67; Munding Kelemu Wilamantri Mantri Kasurutapa; Raden Balik Layaran; Raden Neu Eukeun and 7 others
Half brother of Raden Prabu Hande Limansenjaya,; Banyak Blabur Prabu Surawisesa; Adipadi Banten; Prabu Lajakoesoemah; Sunan Rumenggong (Prabu Layaran Wangi) putra PS 2 and 37 others

Managed by: Private User
Last Updated:

About R. Sangara / Haji Mansur (Sunan Rohmat Godog) / Kian San Tang Sangara

Pangeran Raja Sangara, Kean Santang, Haji Mansur, Ki Jungju.

Wafat dan dimakamkan di Depok, Gunung Negara, Garut.

Notes on May 18, 2009:

His name in Joyce FG: Kian Santang, link to his other profile:

R. Sangara / Haji Mansur (Sunan Rohmat Godog) / Kian San Tang Sangara

Kian Santang : https://id.wikipedia.org/wiki/Prabu_Kiansantang


Prabu Kian San Tang / Syeh Sunan Rohmat Suci

Raden Sangara / Galantrang Setra

Wafat dan dikebumikan di tempat terakhir beliau berdakwah : Makam Godog di Desa Lebak Agung, Kec. Karangpawitan, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat.

Putera raja Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala Wangi / Dewi Subang Larang. Mempunyai dua saudara yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.

Catatan lain pada sarasilah keturunan Dalem Aria Wiratanu (Jayasasana) Dalem CIkundul, menyatakan bahwa Kian Santang adalah putra Kakasih Radja putra Mundingkawati putra Banyak Wangi putra Banyak Larang putra Susuk Tunggal (Saudara Prabu Lingga Wesi) putra Guru Minda Kahiangan putra Ciung Wanara putra Prabu Cakrabuana (Mundingwangi) putra Prabu Siliwangi I putra Mundingsari alias Banjarsari.

Kiansantang dan Rakeyan Sancang

Prabu Kiansantang inilah disebut-sebut tradisi masyarakat sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kian Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kian Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.

Cerita rakyat turun menurun dari mulut ke mulut bahwa Prabu Kiansantang / Kian Santang abad ke 15 yang bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib tahun 1599-1661 dan mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan, hal ini terkait dengan siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, yakni dengan nama yang serupa dengan Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang bernama Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Raja Kerajaan Tarumanagara 562– 618 M) saudara sebapak Raja Suraliman Sakti (568–597) Putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan.

Keturunan Ki Santang

Dalam wangsit uga siliwangi dikatakan bahwa keturunanya akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya:

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!:

artinya:

Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!

=========

Lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor. Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Sejarah Makam Godog di Garut (Makam Prabu Kean Santang).

Pada usia 22 tahun Prabu Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.

Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kian Santang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, Prabu Kian Santang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa.

Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "Dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya." Akhirnya Prabu Kian Santang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kian Santang. Namun tak seorang pun yang mampu menunjukkannya.

Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya disejagat pulau Jawa.

Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya". Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.

Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Syech Ali murtadho, yang tinggal jauh di Tanah Mekah.

Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau memang anda mau bertemu dengan Syech Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi.

Tiba di tanah Mekah beliau bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Syech Ali, namun Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Syech Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu: "Kenalkah dengan orang yang namanya Syech Ali?" Laki-laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Syech Ali.

Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Syech Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Syech Ali murtadho mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Syech Ali."

Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah
lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.

Syech Ali murtadho mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Syech Ali murtadho tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.

Dalam hatinya ia bertanya. "Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam. Kemudian mereka berdua berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Syech Ali murtadho. "Kenapa anda Ali pulang terlambat?”. Galantrang Setra kaget mendengar sebutan Ali tersebut.

Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Syech Ali murtadho. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Syech Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Syech Ali murtadhò. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya yang mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, malahan ajakannya ditolak.

Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah, jabatan kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian beliau kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Beliau berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam. Setibanya di Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.

Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya Prabu Kiansantang sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.

Dengan rasa menyesal Prabu Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu Kiansantang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.

Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.

Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.

Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'rifatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.

Yang dituju pertama kali adalah gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.

Dengan godegnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syech Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

GODOG SUCI

Menurut Sejarah Limbangan, bahwa pada awal abad 16 M daerah Godog Suci adalah pusat dari penyebaran agama Islam untuk untuk wilayah tatar Garut dan sekitarnya.Saat itu penyebaran agama Islam dilakukan oleh Raja Sangara bersama para pengikut setianya yang terdiri dari para bangsawan Sunda yang telah memeluk agama Islam, baik yangi ikut bersamanya selama di perjalanan dari Cirebon, maupun bangsawan dari daerah Godog Suci dan sekitarnya, seperti Dalem Pagerjaya, Sarepen Agung dan yang lainnya.

Di daerah Garut (menurut Sejarah Godog) Raja Sagara terkenal dengan sebutan Prabu Kiansantang atau Sunan Rohmat Suci, putra Prabu Jaya Dewata/ Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran 1482 – 1521 M. Beliau adalah paman dari Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati putra Syekh Syarif Abdullah dengan Nyimas Hj.Syarifah Mudaim (Nyimas Rara Santang).

Di antara salah satu bangsawan Sunda yang telah memeluk agama Islam dan juga masih termasuk pengikut setia Raja Sangara adalah Prabu Wijayakusumah atau Adipati Limansenjaya Kusumah (Sunan Cipancar Limbangan) putra Prabu Hande Limansenjaya, yang pada tahun 1525 M menggantikan ayahnya sebagai penguasa Kerajaan Galeuh Pakuan (Limbangan). Dan pada tahun itu pula Kerajaan Galeuh Pakuan berubah menjadi Kabupaten Limbangan.

Yang menjadi Bupatinya sebagaimana tercatat pada fatsal 8 no.1, bundel 13 Preanger Regentschappen adalah Adipati Jaya alias Limansenjayakusumah/Sunan Cipancar, Bupati Limbangan (Galih Pakuan).

Perjalanan dakwah Islam Raja Sangara dan para pengikutnya tersebut dilakukan ke arah Selatan, seperti Sancang (Pameungpeuk), Kandangwesi (Bungbulang), Timbanganten (Tarogong-Leles), Panembong (Bayongbong) dan Batuwangi ( Cikajang ).

Setelah Raja Sangara dan para pengikutnya wafat, penyebaran agama Islam dilanjutkan oleh para seuweu siwi Dalem Pagerjaya, Sarepen Agung dan yang lainnya. Pada abad 16/17 M di daerah Suci tak ada catatan tertulis tokoh Kyai/ulama, sebelum lahirnya Embah Nuryayi.

Pada tahun 1700 an M di daerah Suci lahir seorang putra dari salah seorang bangsawan Rancakalong Suci yang diberi nama Nuryayi yang selanjutnya para seuweu siwi menyebutnya “Embah Nuryayi“.

Menurut catatan KH. Abdul Halim putra KH. Abdullah Mukilam, bahwa Embah Nuryayi adalah putra Dalem Puspadirana, salah seorang bangsawan dari Keluarga Besar Dalem Pagerjaya Godog Suci.

Ketika usia masih muda Embah Nuryayi pergi belajar dan berguru agama Islam kepada ulama/Kyai, yaitu Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya, 1650-1730 M) yang saat itu terkenal sebagai seorang wali penyebar dan pengembang agama Islam di tatar Pasundan, mulai dari Kuningan, Batuwangi sampai Pameungpeuk. Selanjutnya tahun 1689-1730 M, beliau tinggal dan menetap di Kampung Saparwadi Pamijahan Taskamalaya.

Menurut riwayat, disamping sebagai “murid“ Syekh Abdul Muhyi, Embah Nuryayi juga berguru kepada Kyai Rd. Jafar Sidik atau terkenal dengan sebutan Syekh Wali Jafar Sidik (1695-1800 M) di Cibiuk Tengah Kadipaten Limbangan (sekarang termasuk Kecamatan Cibiuk, Kabupaten Garut).

Sumber lain meriwayatkan pula, bahwa beliau pernah menuntut ilmu keislaman di Cirebon, Ampel Surabaya, Ambon dan Ternate Maluku. Bahkan kepergiannya ke Ambon dan Ternate itu disertai dengan gurunya Syekh Abdul Muhyi.

Setelah menamatkan pendidikannya, Embah Nuryayi pulang kembali ke desanya dan tampil menjadi sosok seorang Kyai/ulama yang berpengetahuan luas dalam bidang agama Islam. Kemudian selanjutnya beliau mendirikan pesantren di daerah Cibangban dan Rancakalong.

Sejak itulah nama Embah Nuryayi tampil dan terkenal di lingkungan Keluarga Besar Dalem Pagerjaya Suci khususnya dan umumnya umat Islam di sekitar wilayah yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Garut.

Beliau saat itu tampil sebagai seorang da’i dan sebagai seorang Kyai/ Ulama dari daerah Suci, sejajar dengan tokoh-tokoh Kyai/ Ulama sejamannya, seperti Kyai Rd. Nurhasyim (menantu Kyai Syekh Jafar Sidik), Kyai Rd. Zakaria (menantu Rd. Wiraha atau Dalem Tegaljati Pasiruncal Karangpawitan), Kyai Rd. Fakroeddin atau terkenal dengan sebutan Kyai Biru Sepuh (leluhur Keluarga Besar Biru) dan yang lainnya.

Ada kemungkinan yang membentuk dan mewarnai sikap hidup Embah Nuryayi dalam berdawah atau mendidik para putra serta masyarakat Suci dan sekitarnya (pada abad 18 M) adalah dari ketiga tokoh Kyai/ Ulama terkenal di tatar Pasundan saat itu, yaitu Syekh Wali Jafar Sidik, Syekh Abdul Muhyi dan Syekh Maulana Mansur-Cikadueun Pandeglang.

Pada abad 19 dan 20 M penyebaran dan perkembangan Islam didaerah Suci dan sekitarnya, makin pesat setelah putra dan cucu Embah Nuryayi atau Bani Nuryayi mendirikan pula beberapa Pondok Pesantren baru antara lain : Fauzan, Suci Karangpawitan, Urug (Bayongbong), Kudang-Limbangan, Sindangkasih Karangpawitan, Tanjungpura-Karangpawitan, Sukaraja Karangpawitan, Sumursari Sukawening, Sadang dan yang lainnya.

Disamping meneruskan dalam pengelolaan Pondok Pesantren peninggalan generasi-generasi sebelumnya seperti : Balong (Suci), Cibangban- Karangpawitan, Fauzan-Sukaresmi dan yang lainnya.

Para ulama/kyai putra dan cucu Embah Nuryayi, dan umumnya para ulama/Kyai dari tatar Pasundan pada abad18/19 M hampir sebagian besar adalah alumni dari pesantren-pesantren terkenal di Jawa Timur. Bahkan ada pula yang pergi belajar ke Mekah dan berguru kepada ulama-ulama terkenal di kota tersebut (baik ulama setempat atau ulama dari Indonesia sendiri).

Begtu pula di daerah Limbangan, sepeninggal Adipati Limansenjaya atau Sunan Cipancar dan seuweu siwi penggantinya termasuk para Bupati Kadaleman di beberapa wilayah Kadaleman atau para Bupati Limbangan, mulai dari Bupati Limbangan pertama Dalem Nayawangsa (1650-1678 M) sampai Tumenggung Wangsakusumah II (1799-1811 M).

Setelah terbentuk Kabupaten Limbangan Garut (1813 M) dan Kabupaten Garut (1913 M) penyebaran dan perkembangan Islam makin pesat setelah para Ulama/Kiai keturunan Sunan Cipancar, banyak pula yang mendirikan beberapa Pondok Pesantren yang terkenal, misalnya Serang Cibiuk, Ciloa, Pulosari, Cikelepu, Balekambang, Wates, Cicadas, Cigawir, Lio, Cibalampu, Cileuleuy Malangbong , Sumursari Sukawening dan lain sebagainya.

Nama Embah Nuryayi semakin terkenal setelah para keturunan Embah Nuryayi (terkenal dengan sebutan Bani Nuryayi) berkembang dan menyebar ke berbagai daerah, khususnya Karangpawitan, Sukarame, Bayongbong, Sucinaraja, Wanaraja, Sukawening , Cibatu, Kersamanah, Limbangan dan daerah-daerah lainnya , bahkan hingga sampai ke kota-kota besar di Jawa Barat, Banten (Cicalengka, Bandung,Majalaya, Sukabumi Cianjur, Purwakarta dll.) DKI Jakarta, Jawa Timur dan tempat/Propinsi/Negara lainnya.

Bila kita mengunjungi beberapa Pondok Pesantren misalnya Suci, Balong, Cibangban, Al Muhajirin-Karangpawitan, Riyadul Jannah Sadang (Sucinaraja), Sagaranten (Sukawening), Keresek (Cibatu) , Kudang Limbangan, Hidayatul Faizin Urug (Bayongbong), Faozan (Sukarame), Salaman (Sukarame), Kudang Limbangan, Cipaku Pasirwangi, Malati Pasirwangi dan lain-lainnya di daerah Kabupaten Garut, ternyata hampir sebagian besar, baik langsung atau pun tidak langsung ada hubungannya dengan Bani Nuryayi, seuweu siwi Sunan Cipancar, Bani Fakih (Keluarga Besar Biru), seuweu siwi Sukapura dan yang lainnya.

Di beberapa Kecamatan di Kabupaten Garut, di antaranya juga masih ada hubungannya dengan Syekh Abdul Muhyi-Pamijahan, Syekh Jafar Sidik-Cibiuk ataupun Syekh Maulana Mansur-Cikadueun Banten dan lain sebagainya. Demikian pula beberapa Pondok Pesantren di luar Garut, misalnya Pondok Pesantren Santiong Cicalengka, Istiqlal Cianjur, Sukamiskin Bandung, An Nur Sukajadi Bandung, Minhajul Karomah Banjar, Tangerang dan lan-lainnya.

Perlu diketahui, bahwa di lingkungan Bani Nuryayi yang telah tersebar di pelbagai daerah dan kota banyak pula yang berprofesi di luar profesi Kyai/ulama. Mereka berperan di masyarakat sebagai guru,dosen, dokter, petani, pengusaha, buruh, PNS atau bahkan menduduki jabatan penting di pemerintahan, sebagai Bupati atau Gubernur dan lain sebagainya.

Selain itu di beberapa pondok pesantren selain diselenggarakan pendidikan salafiyah dan Madrasah Diniyah, juga diadakan pula jenjang pendidikan umum semacam Tk/RA, SMP/MTs dan SMA/ MA atau juga SMK.

KH. Emuh Muhammad Qudsi menjelaskan kepada penulis, bahwa Embah Nuryayi dalam masa tuanya, tinggal bersama putra bungsunya di Rancakalong Suci Karangpawitan. Disinilah beliau meninggal dalam usia yang telah sepuh, dan dimakamkan didaerah Rancakalong, Kelurahan Karangmulya, Kecamatan Karangpawitan.

Kyai sepuh itu (Embah Nuryayi) telah lama wafat sekira 3 abad yang lalu, tetapi namanya masih dikenang dan disebut-sebut dalam do’anya para seuweu siwinya.

Kita para seuweu siwinya yang tergabung dalam Keluarga Besar Bani Nuryayi, akan selalu mengenang jasa-jasa Embah Nuryayi dan juga semua para sesepuh, putra, cucu dan seuweu siwinya yang telah wafat meninggakan saudara/kerabat dan lainnya. (*)

=======================

Riwayat anak ketiga dari Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang adalah Raden Kian Santang atau Raja Sengara, tak lekang karena jaman, putra Prabu Siliwangi ini memiliki kepandaian dalam ilmu silat. Di tatar Sunda kemampuan silat Kian Santang sangat dikenal. Oleh karena itu Kian Santang terkenal kesaktiannya karena menguasai ilmu kanuragan persilatan. Dalam dunia persilatan di Tatar Sunda, Raden Kian Santang dikenal dengan Gagak Lumayung. Kian Santang memeluk Islam setelah pergi ke Mekkah untuk naik haji. Oleh karena itu Kian Santang dikenal juga sebagai Haji Lumajang, karena ia menyebarkan ajaran Islam ke berbagai peloksok yang menjadi wilayah kekuasaan Pajajaran yang dipimpin oleh ayahnya Prabu Siliwangi.

Wilayah dakwah Kian Santang di sekitar pedalaman Garut. Di daerah Garut ,Kian Santang lebih dikenal sebagai Syekh Sunan Rohmat Suci atau Sunan Godog atau Gagak Lumayung atau Galantang Setra atau Pangeran Gagak Lumiring atau Sunan Bidayah atau Pangeran Lumajang Kudratulloh atau Haji Mansur. Sampai akhir hayatnya Kian Santang berada di Garut dan dimakamkan di Desa Lebak Agung Kecamatan Karangpawitan Garut.

Di daerah itulah Kian Santang mendirikan Pesantren Godog sekaligus padepokan silat. Banyak santrinya yangt ermashur kesaktiannya seperti Sunan Batuwangi di Singajaya, Santowan Suci di Samarang, Saharepen Nagele, Sembah Dora, Sembu Kuwu Kandang Sapi, Penghulu Gusti, Raden Halipah Kandang Haur, Prabu Kasirininganwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh Culamega Tasik, Saharepen Agung,Panengah, Santuwan Suci Maraja, dan Dalem Pangerjaya.Jejak dakwah Kian Santang mampu mengislamkan raja-raja lokal dengan kesaktiannya.

Salah satunya adalah Raja Balubur Limbangan bernama SunanPancar atau Cipancar bernama Prabu Wijayakusumah yang memerintah dari tahun1525-1575 M. Kemudian mengislamkan Santowan Suci Mareja (Raja Wanareja), Sunan Sirapuji (Raja Panembong Bayongbong), Sunan Batuwangi (Raja Singajaya). Prabu Wijaya Kusumah Raja Balubur Limbangan yang diislamkan oleh Kian Santang sehingga diberi nama Sunan Cipancar, sesungguhnya adalah cucu dari Prabu Siliwangi sendiri.

Prabu Wijayakusumah atau Sunan Cipancar adalah anak dari Sunan Hande Limansenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah atau Prabu Layaranwangi. Prabu Layangkusumah sendiri adalah anak Prabu Siliwangi dari isteri Nyai Kalisapu Cirebon. Nyai Gedeng Kalisapu alias Nyai Halimah awalnya adalah isteri dari Kian Santang. Setelah ditinggalkan dan dicerai oleh Kian Santang, kemudian Nyai Gedeng Kalisapu dinikahi oleh Prabu Siliwangi sehingga melahirkan Prabu Layangkusumah. Perjalanan dakwah Islam Kian Santang, penyebaran agama Islam dilakukanoleh para mubaligh yang berasal dari murid para santrinya Kian Santang. Penerus dakwah Kian Santring di wilayah Garut diantaranya adalah Syekh Jafar Sidiq (Limbanga, penganut Thoriqoh Syatariyah), Eyang Papak (Cianjur), Syekh Fatah Rohmatullah (Tanjung Singguru Samarang Garut), Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya).

Fakta lainnya, bahwa berdirinya pesantren di Priangan tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Islam Banten ketika kekuasaan Kerajaan Pajajaran mulai sirna sekitar tahun 1579 M. Pada periode ini, dakwah Islam dengan model pendidikan pesantrennya masuk ke wilayah Priangan dari arah Jawa bagian Barat yaitu Banten. Wilayah-wilayah pesantren yang dipegaruhi oleh Banten diantaranya adalah wilayah Priangan Barat seperti Sukabumi, Cianjur, Bogor, dan Garut. Adanya pengaruh Banten terhadap pesantren di Priangan adalah berdirinya Pesantren Al-Falah Biru Singguru Samarang Garut yang didirikan oleh Syekh Fatah Rohamtullah. Ia mempunyai beberapa anak diantaranya:

1. Mama Kyai Ajengan Abdul Hal
2. Embah Ajengan Abdul Kholik (Embah Johor Bungbulang)
3. Demang Kartamanggala
4. Raden Kusumahwangsa, Raden Bandu Wangsa, Raden Naga, RadenRarimbang, Raden Pangumba, dan Raden Arif.

Syekh Fatah Rohamtulloh adalah seorang tentara, ahli strategi perangsekaligus santri dari Sultan Maulana Hasanuddin. Sultan Maulana Hasanuddinsebelum masuk Islam bernama Sabakingking. Ia adalah putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dari isteri Nyi Mas Kawunganten putridari Raja Pajajaran Banten Girang Prabu Pucuk Anum yang beragama Hindu.Penyebaran Islam di Garut selain oleh Syekh Fatah Rohmatulloh, juga dilakukan oleh Sunan Tangkil (Raja Timbanganten Garut), Syekh Nurfaqih,Syekh Komaruddin, Syekh Fakaruddin, dan Syekh Nurwajah. Penyebaran Islamdi wilayah pedalaman Priangan oleh mubaligh-mubaligh dari Banten mengalami kemunduran setelah Kesultanan Islam Banten mengalami kemunduran.

  • Dari berbagai sumber.