2 Wirasuta (P. Gebang / P. Losari) (Panembahan Losari)

public profile

Is your surname (Panembahan Losari)?

Research the (Panembahan Losari) family

2 Wirasuta (P. Gebang / P. Losari) (Panembahan Losari)'s Geni Profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

About 2 Wirasuta (P. Gebang / P. Losari) (Panembahan Losari)

Wirasuta Pangeran Gebang Banten

Pangeran Cirebon (1527-1580)

Wirasuta, seorang anak yang berasal dari keluarga besar Keraton Cirebon, dibawa dan diasuh oleh keluarganya yang ada di Kesultanan Banten. Ia dibesarkan di tengah lingkungan para pinangeran, dididik sebagai seorang bangsawan dengan ragam wawasan dan pengetahuan. Anak yang penuh dengan potensi itu bernama Wirasuta, dan kemudian mendapat jodoh seorang putri Sultan Banten. Setelah dewasa, anak cerdas yang sangat berbakat itu berkembang menjadi seorang politisi yang ulung dan dapat diandalkan. Di samping memegang jabatan yang penting di lingkungan Kesultanan Banten, ia juga menjadi diplomat sekaligus negoisator Banten dalam mengurusi pelbagai urusan luar negeri kerajaan, termasuk dengan Pemerintahan Agung VOC di Batavia.

Sebetulnya, apabila kita merujuk pada naskah silsilah Kedawung, Wirasuta tercatat sebagai putra dari Pangeran Sedang Kamuning bin Pangeran Pasarean bin Sunan Syarif Hidayatullah. Dengan demikian, ia adalah cicit dari Sunan Maulana Jati dan merupakan seseorang yang masih keturunan bangsawan Keraton Cirebon. Namun demikian, karena ibu dari Wirasuta bukan seorang Garwi Padmi maka secara tradisi ia tidak memiliki hak atas tahta, meskipun tetap berhak atas gelar bangsawan “pangeran.” Hal ini kemudian mengarahkan keluarganya untuk membesarkan Wirasuta jauh dari Cirebon, dan membawanya hingga ke Banten.

Secara historis, kiprah Pangeran Wirasuta yang juga dikenal sebagai Pangeran Gebang Banten itu, tercatat dalam sejumlah sumber-sumber primer yang berasal dari tulisan para pedagang, pelancong, dan pejabat asing. Bahkan, tulisan tangan yang berupa surat dari Pangeran Gebang yang tersimpan di salah satu tempat konservasi benda kuno di luar negeri, masih tersedia hingga saat ini dan dapat dianalisa. Hal ini menunjukkan bahwa Pangeran Wirasuta atau Pangeran Gebang itu adalah tokoh historis, tokoh yang benar-benar ada, dan bukaan rekaan dongeng ataupun karakter fiktif dalam babad semata.

Di Banten, Wirasuta tumbuh menjadi seorang anak yang sangat berbakat dan memiliki kemampuan yang sangat menonjol dalam bidang komunikasi. Selanjutnya, ia pun merintis karir sebagai pejabat pemerintahan. Posisinya semakin moncer berkat pernikahannya dengan salah seorang saudari Maulana Muhammad, yang pada waktu itu merupakan Putra Mahkota Banten dan kemudian menjadi Sultan disana. Karena hubungan kekeluargaan ini amat dekat sehingga Wirasuta mendapat kepercayaan yang tinggi, maka banyak pelancong dan pengelana asing yang mengira bahwa Wirasuta adalah saudara kandung Maulana Muhammad karena sering mewakili sang sultan dalam waktu-waktu tertentu.

Setelah Sultan Maulana Muhammad wafat akibat peperangannya melawan Palembang di Laut Sumatera, Wirasuta dipercaya oleh keluarga besar Kesultanan Banten agar menjadi pendamping sultan muda (anak dari Maulana Muhammad yang masih kecil) bersama seorang tumenggung yang berasal dari keluarga inti sultan lainnya untuk memerintah Kesultanan Banten. Ketika itu, Wirasuta berperan sebagai Mantri Jaba (Menteri Luar) yang mewakili Sultan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pihak luar istana Banten.

Sebagai seorang pejabat dengan segudang tanggung jawab, Wirasuta pun mendapatkan fasilitas yang juga sangat luar biasa dari Kesultanan Banten untuk hitungan pada zaman itu. Salah satu sarana yang diberikan kepadanya itu adalah kediaman yang lokasinya sangat strategis di dekat Pasar Banten. Kediamannya itu berukuran sangat besar, karena di samping sebagai tempat tinggal tempat itu juga berfungsi sebagai kantornya dalam melaksanakan tugas sebagai Mantri Jaba. Setiap hari, orang hilir mudik kesana kemari untuk menyerahkan pajak dagang ke tempat itu sehingga kediamannya tersebut juga dikenal sebagai Paseban (tempat untuk seba atau menghadap).

Rumah yang ditempati oleh Wirasuta, di samping memerhatikan fungsi, juga mendapatkan hiasan indah sedemikian rupa untuk memperlihatkan nilai estetika yang dimiliki oleh sang pejabat. Sebagai Mantri Jaba yang bergaul dengan orang lintas bangsa yang berasal dari berbagai macam belahan dunia, tentu tak ingin memperlihatkan kesan yang kurang mengenakan bagi para tamunya. Oleh sebab itu, ia memberi pelbagai macam hiasan yang indah di hampir seluruh sisi kediamannya, mulai dari taman hingga ke ruang-ruang pertemuan. Salah satu karya paling estetis di tempat tinggal Wirasuta adalah taman dengan hiasan utama yang berupa pepohonan gebang (corypha utan), sejenis palma yang hidup di dataran rendah. Nama pohon ini kemudian melekat kepada sosok Wirasuta, sehingga ia dikenal pula sebagai Pangeran Gebang.

=

Cerita rakyat dan babad menggambarkan keunggulan pasukan Pakungwati disebabkan kekuatan mistis sejumlah penglima seperti Sutajaya Alas, Aria Salingsingan, Aria Jagasatru alias Dipati Ukur Anom dan Pangeran Sutajaya Wira Upas.

Namun jika mendasarkan pada catatan Rijcklof van Goens bisa saja hal itu karena didukung besarnya semangat dan jumlah pasukan. Terlebih jika peristiwa ini dikaitkan dengan insiden pengusiran Permaisuri Mataram Asal Cirebon, dan konflik internal Amangkurat I dan saudaranya Pangeran Alit.

Angka seratus ribu pasukan Pangeran Cirebon yang dicatat Gubernur Jenderal VOC 1678-1681 lebih mudah dipahami sebagai potensi kekuatan yang bisa digerakkan menghadapi peperangan bukan pengertian setara jumlah delapan atau sembilan divisi pasukan reguler.

Dengan proporsi penduduk sulit diasumsikan Cirebon memiliki pasukan sebanyak itu. Sebelumnya memang atas permintaan Sultan Agung Mataram di bawah Pangeran Wira Dipati Anom dan beberapa penguasa pesisir utara lainnya penduduk Jawa dimobilisasi untuk membendung kekuatan kompeni dari sebelah timur sungai Citarum.

Atas permintaan Sultan Agung Mataram di bawah Pangeran Wira Dipati Anom dan beberapa penguasa pesisir utara lainnya penduduk Jawa dimobilisasi untuk membendung kekuatan kompeni dari sebelah timur sungai Citarum.

Nama Pangeran Gebang banyak disebut oleh sumber Eropa terutama Belanda seperti Catatan Harian VOC Daghregister, Surat-surat Korespondensi antara Kompeni dan Penguasa Nusantara Overgekome Brieven en Papieren, dan Memorie van Overgave semacam catatan tinggalan pejabat lama untuk pejabat penggantinya. Bahkan arsivaris Belanda F de Haan mengumpulkan berbagai informasi tentang Pangeran Gebang dalam karya Priangan III.

Begitu pula Sejarawan Indonesia Titik Pudjiastuti, Edi S Ekajati dan Hoesein Djajadiningrat telah menyumbangkan simpulan berharga bagi sejarah tentang sosok yang pernah menjadi Perdana Menteri Banten era setelah Sultan Maulana Muhammad ini.

Belakangan terutama setelah terbit Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Hoesein Djajadiningrat (1983) dan Surat-surat Sultan Banten karya Titik Pudjiastuti (2007), sebagian peminat sejarah mengkait-asumsikan Pangeran Gebang dengan nama Pangeran Wirasuta.

Babad Cirebon meriwayatkan Wirasuta sebagai putra dari selir Pangeran Dipati Cirebon kelahiran 1550, tetapi terkadang ditulis sebagai putra Pangeran Pasarean lahir 1525. Pangeran Gebang lahir sekitar 1575. Angka ini menjadi salah satu petunjuk Pangeran Gebang berbeda sosok dari Pangeran Wirasuta yang lahir 1550 atau bahkan 1525 (Unang Sunardjo, Kerajaan Cerbon 1479-1809, Bandung, 1983).

Menikah dengan Ratu Winaon putri Maulana Yusuf dan menjabat Perdana Menteri Jero Banten didampingi Tumenggung Anggabaya atau Ang Gobay Perdana Menteri Jaba.

Berdasarkan peta Banten 1596 yang diterbitkan D'eerste Boeck, istananya terletak di Barat Laut kota berbenteng yang kemudian disebut Pagebangan, merujuk pada namanya. Ragam Pusaka Budaya Banten terbitan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang melaporkan, kawasan Banten Lama lazim menggunakan nama tokoh yang tinggal di daerah tersebut.

Kaloran kawasan tempat tinggal Pangeran Lor, Kawangsan kampung tempat tinggal Pangeran Wangsa, Kawiragunan pemukiman Pangeran Wiraguna dan Kapurban kawasan tinggal Pangeran Purba.

Hal ini berbeda dengan anggapan bahwa disebut Pangeran Gebang karena tinggal di istana yang dihiasi pohon gebang.

Sumber tradisional Banten tidak menulis Pangeran Gebang sebagai Wirasuta baik dalam sebutan atau gelar. Claude Guillot mempersamakan dengan Pangeran Upapatih. Hoesein Djajadiningrat menanggapi kesaksian Edmund Scott mengidentifikasi Pangeran Gebang saudara laki-laki Rana Manggala yang diperjelas F de Haan sebagai ipar. Hubungan ipar ini dapat dirunut karena Rana Manggala menikahi putri Panembahan Ratu Cirebon, dengan demikian ipar bagi Pangeran Gebang.
Pasca perjanjian Banten-VOC mengenai Batavia tahun 1619 Pangeran Gebang meninggalkan Banten bergabung dengan Panembahan Ratu Pakungwati.dan memimpin wilayah Timur Cirebon atau kawasan Pagebangan.

Penulis Perang,Dagang, Persahabatan; Surat-surat Sultan Banten mendokumentasikan 19 Surat Bangsawan Banten, enam diantaranya milik Pangeran Gebang. Sejak itu sumber Belanda, Banten dan Mataram mencatat nama Raja Sepuh Pakungwati (Panembahan Ratu) dan Raja Anom (Pangeran Wira Dipati Anom). Kediamannya tidak lagi tercantum dalam peta kota Banten yang diterbitkan 1630.

Periode Sebelum dan Sesudah 1689

Sepeninggal Panembahan Girilaya terjadi polarisasi baru kekuasaan di Pakungwati seperti juga di Mataram dan Banten. Friksi terbuka antar bangsawan dan intervensi lebih jauh kompeni ke dalam lingkungan kekuasaan Cirebon mendorong sejumlah putra Panembahan Girilaya.antara lain Pangeran Alas Ardisela mempertahankan wilayah timur Pakungwati terutama Pagebangan agar tidak dikoptasi Mataram ataupun Kompeni.

Gelar Alas yang disematkan semacam tanda bahwa pangeran ini memiliki 'jatah' wilayah tersendiri yang dikelolanya. Saat ini jejak Pangeran Alas dapat ditelusuri dari Mundu dan Japura di pantai Utara atau juga di kawasan Luragung dan sekitarnya.

Menurut J Noorduyin penulis Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa (2019), dan Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015), kata Alas yang mulanya berarti hutan dalam teks Sunda kuno dan teks lama menunjukkan satuan wilayah. Di zaman itu ketika dinyatakan membagi Alas artinya membagi wilayah.

Alas Gebang artinya wilayah bagian dari Alas Pakungwati. Tokoh pemilik Alas biasa juga disebut Pangeran Wijaya atau Pangeran Sutawijaya. Seperti Pangeran Sutawijaya pendiri Mataram setelah mendapatkan Alas Mentaok dan Raden Wijaya pendiri Majapahit setelah mendapat Alas Tarik.Dengan demikian Suta Wijaya atau Sutajaya berarti pula sebutan untuk tokoh yang membangun kekuasaan baru di wilayah tertentu.

Periode berikutnya tahun1689 tampil Pangeran Sutajaya Gebang yang membuat perjanjian protektorat dengan Kompeni membentuk Kepangeranan tersendiri. Delapan tahun sebelumnya Kanoman, Kasepuhan dan Kapanembahan Cirebon membuat perjanjian sejenis dengan VOC. Wilayah Kepangeranan Gebang ditetapkan dari pantai Utara Gebang sampai ke Cijulang di Laut Selatan.

Pangeran Sutajaya sering diduga sebagai putra Wirasuta, namun jika dilihat periode kelahiran keduanya yang terpaut sekira satu abad sulit diasumsikan bahwa Sutajaya adalah putra Wirasuta. Pangeran Sutajaya memerintah hingga wafatnya Nopember 1706 dan digantikan putranya yang menggunakan nama jabatan Pangeran Ngabei Sutajaya.hingga dilanjutkan oleh Pangeran Nata Kusuma. (Budi Susanto, Sisi Senyap Poluitik Bising, 2007).

Setelah Nata Kusuma silih berganti beberapa pemimpin Kepangeranan Gebang hingga penghancurannya oleh Daendels awal abad 19. Era Raffles kekuasaan Gebang dipecah dan diubah menjadi distrik dibarengi dengan penyerahan sebagian wilayah Gebang kepada Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan (Edi S Ekajati, Sejarah Kuningan Dari Masa Prasejarah Hingga Terbentuknya Kabupaten, 2003).

Penghancuran Kepangeranan Gebang dilatari terutama karena masyarakat dan pemimpin dari wilayah ini selalu bergolak menentang kaum kolonial. Sejarah mencatat beberapa putra Pangeran Brata Nata Kusuma seperti Pangeran Arungan atau Arangin (Gebang) dan putranya Pangeran Nur Alim, Pangeran Ardisela atau Brata Kusuma (Sindang Laut) dan Pangeran Bratanata Herban (Jati Tujuh) bersama tokoh antara lain Buyut Muji, Mbah Muqoyyim, Sidung atau Abdurrahman alias Draham dan Arisim menjadi penggerak perlawanan terhadap kolonialisme dan kesemana-menaan di Tatar Pakungwati.

Pangeran Brata Nata Kusuma adalah cucu Pangeran Suta Angkara Alias Suta Winata Manggala keturunan Panembahan Girilaya dari jalur Pangeran Alas Ardisela.

Sumber:
Tulisan R.Walid A Syaikhun, peminat kajian Opini Sejarah lahir di Cirebon, saat ini Direktur Indonesia Candidate Center (ICC), Ketua Pusat Sinergi dan Aliansi Komunitas Adat dan Sipritual Nusantara (PUSAKA SUNAN), Ketua KBPA Kesultanan Cirebon, dan Wakil Ketua Bidang Keagamaan DPP Perhimpunan Bravo Lima. Aktif sebagai jurnalis sejak 1990. Salah satu inisiator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui Forum Wartawan Independen Bandung (FOWI). Wartawan Mingguan Berita EDITOR dan Litbang Redaksi Harian REPUBLIKA. Sejak 1994 aktif di CIDES sebuah Lembaga Pengkajian yang didirikan Prof BJ Habibie sebagai Kepala Departemen Publikasi-Penerbitan dan Redaktur Jurnal-jurnal CIDES. Tahun 1995-1998 sebagai Tim Asistensi Menristek / Kepala BPPT BJ Habibie untuk Pemantauan dan Pengelolaan Opini Publik. Anggota Tim Komunikasi Badan Legislasi Nasional (Balegnas) 1999-2000. Salah satu Pendiri dan Kepala Divisi Penelitian International Forum on Islamic Studies (IFIS) Jakarta 1999-2001. Peserta Lokakarya Metode Resolusi Konflik Secara Damai LEMHANNAS 1999.

[https://www.mitranews.net/sastra-budaya/pr-1055844697/kajian-sejara...

Dalam pertemuan-pertemuan resmi kenegaraan, tempat Wirasuta selalu berdekatan dengan sultan. Hal itu memperlihatkan kedekatannya dengan pusat otoritas Banten dan juga menunjukkan bahwa Wirasuta adalah tokoh yang sangat penting bagi Kesultanan Banten. Saking pentingnya sosok yang juga masyhur sebagai Pangeran Gebang ini, ketika Banten terlibat masalah dengan VOC, maka yang diutus untuk menyelesaikan masalah ini ke Batavia adalah Wirasuta. Ia pun berangkat dengan banyak pengiringnya untuk bertemu dengan Jan Pieterszoon Coen di loji Belanda. Di kota berbenteng tersebut, Wirasuta terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang menegangkan sekaligus heroik karena ternyata ia dapat kembali dengan selamat tanpa kurang apapun.

Pada masa tuanya, Wirasuta tetap membaktikan hidupnya untuk Kesultanan Banten, tempat dimana ia dididik dan berkarya. Oleh sebab itu, pasca Amangkurat dari Mataram melakukan penyerangan “kurang jantan” dengan memanfaatkan posisi Cirebon yang tengah berada di bawah hegemoninya pada pertengahan abad ke-17, Wirasuta dengan berani menawarkan diri dan keluarganya untuk hidup di tapal batas wilayah antara Banten dan Mataram. Wilayah perbatasan yang ia datangi bersama keluarganya itu adalah wilayah Gebang saat ini, yang ketika itu merupakan perkampungan nelayan dan banyak ditumbuhi pohon-pohon gebang. Pilihan tempat tersebut bukan semata-mata karena wilayahnya banyak ditumbuhi gebang semata, tetapi juga karena wilayah itu terletak di bagian timur Cirebon. Dengan demikian, ketika pengaruh atau serangan Mataram datang, maka Wirasuta bersama keluarga dan pasukan yang dimilikinya dapat menangkal hal itu lebih awal.

Setelah hidup dengan kehormatan sebagai tokoh penting Banten dan juga pelindung Cirebon, pada akhirnya usia lanjut juga turut merongrong Wirasuta. Tanpa jelas kapan tahun dan dimana tempatnya, Wirasuta pun akhirnya meninggal dunia di tengah perjuangannya dalam membela Banten dan Cirebon dari pengaruh Mataram. Salah satu putra Pangeran Wirasuta yang paling potensial untuk menggantikan kepemimpinannya setelah Wirasuta meninggal adalah Pangeran Sutajaya. Ia adalah putra Wirasuta yang sejak muda sudah diperintahkan oleh sang ayah untuk menimba ilmu kesana kemari. Sama seperti Wirasuta, Sutajaya pun dikenal dengan gelar yang sama, yaitu Pangeran Gebang.

=

Dalam naskah Mertasinga dikisahkan ada salah seorang pangeran, masih cicit Kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah atau Kanjeng Sunan Gunung Jati Cirebon sekitar tahun 1570 hijrah ke Banten, saat Kesultanan Banten dibawah kekuasaan Maulana Yusuf atau Panembahan Pekalangan Gede (daerah Kasunyatan) putera Maulana Hasanuddin atau Panembahan Surosowan. Sang pangeran Cirebon itu kemudian dikenal dengan sebutan Pangeran Gebang dengan nama aslinya Pangeran Wirasuta bin Nyi Mas Gede.

Saat di Surosowan Banten, sang pangeran dari Cirebon tersebut oleh Panembahan Pekalangan Gede dinikahkan dengan salah satu putrinya bernama Ratu Winaon binti Maulana Yusuf, saat Maulana Yusuf menjadi sultan Banten menggantikan mendiang ayahnya Kanjeng Sultan Maulana Hasanuddin tahun 1570 M. Dari pernikahan dengan Ratu Winaon, Pangeran Wirasuta dianugerahi beberapa putera antara lain Pangeran Sutajaya (makamnya di Gebang Kulon, Kecamatan Gebang, Cirebon) dan Pangeran Kulon. Nama terakhir ini lalu mengganti namanya dengan Zainudin, yang kemudian jasadnya dimakamkan di Kali Dalung, Serang.

Menurut naskah silsilah Kenari, Zainudin ini putera dari Badruttamam (sebutan bagi orang yang menekuni sufisme) dan nama asli dari Badruttamam adalah Pangeran Wirasuta atau Pangeran Gebang (Pangeran yang tinggal di Gebang Cirebon sebelum pindah ke Banten), penyebutan nama Pangeran Gebang yang dihubungkan dengan nama Badruttamam itu dikuatkan oleh Naskah Mertasinga dan Buku Tinjauan Kritis Sajarah Banten (P.A. Husein Djajadingrat).

Hal itu diceritakan oleh ahli silsilah yakni RTb. Moggy Nur Fadlil Setya Tirtayasa (Wawancara : 2021) bahwa betul Badruttamam adalah asli Cirebon yang punya nama asli Pangeran Wirasuta bin Pangeran Suwarga dengan ibu Nyi Mas Gede binti Nyi Mas Sri. Sedangkan Nyi Mas Gede menurutnya adalah puteri dari ayah yang bernama Syaikh Fadlilah Khan atau Fatahillah, dengan nama gelar Raden Bagus Pasai alias Wong Agung dari Pasai.

Ketika pecah perang Pailir di awal masa pemerintahan Pangeran Abdul Qodir (sebelum bergelar Sultan Abul Mafakhir Abdul Qadir Kenari), Pangeran Wirasuta yang secara kekeluargaan lebih dekat dengan Pangeran Arya Mandalika, karena sesama putera Maulana Yusuf dari jalur ibu yang kemudian telah mendukung upaya Pangeran Arya Jepara bin Sultan Hasanuddin Banten dalam upaya menuntut hak atas kekuasaan. Perang yang dikenal dengan pertarungan ponggawa dan saudagar dalam memperebutkan pengaruh dan posisi kekuasaan (Claude Guillot : 2011).

Pasca perang, Pangeran Wirasuta lebih memilih hidup biasa. Oleh pihak Kesultanan diberi tempat di kali Dalung dengan status dikenai sangsi tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan. Namun puteranya yang lain yaitu Sutajaya ketika kembali ke Cirebon, tetap memakai gelar kebangsawanan dan memakai gelar Pangeran Sutajaya atau Pangeran Gebang II. Berbeda dengan Pangeran Kulon lebih memilih untuk merubah nama Zainudin, sebagai sikap menjadi orang biasa tanpa embel-embel kebangsawanan, sekaligus menjaga marwah, menjaga nama baik keturunan Pangeran Gebang.

Menurut pitutur orang tua di Ragas Purwadadi Lebak Wangi Kabupaten Serang Banten, yang ternyata adalah masih keturunan Zainudin atau Pangeran Kulon dari jalur Kenari bahwa tidak menyematkan gelar kebangsawanan lebih karena kehati-hatian atas sikap dan perilaku dari generasi yang diturunkan, menjadi beban sejarah sekaligus beban dari kemuliaan leluhur. Bahkan untuk meredam watak angkuh, congkak dan sombong karena untuk menjaga derajat leluhur yang mulia tersebut.

Jalur Dalung Ke Kenari

Dalam naskah Silsilah Kenari, tercatat ada nama Abdul Qadir bin Syaikh Abdul Syukur Anom ( makamnya di depan masjid kuno Kasunyatan Kasemen ), tokoh ini berasal dari Kenari putera Syaikh Syukur putera dari Syaikh Sulaiman ( keturunan ke 9 dari Zainudin alias Pangeran Kulon bin Pangeran Wirasuta ). Abdul Qodir juga tidak menggunakan nama gelar bangsawan ketika memperistri Nyi Mas Mur binti Ki Mas Uja bin Ki Mas Nabei Lintang Manikara ( asal Pamarayan ). Dari Abdul Qadir bin Syaikh Syukur ini kemudian menurunkan keluarga besar Ragas Purwadadi, dan keluarga Sampang Susukan Tirtayasa Serang.

Kiai Abdul Qadir, atau masyarakat setempat memanggilnya Ki Gede menjadi figur utama tersebarnya garis keturunan Pangeran Gebang ke wilayah Banten Utara.

Jalur Kenari Ke Ragas Purwadadi

Pernikahan Kiai Abdul Qadir bin Syaikh Abdul Syukur dengan Nyi Mas Mur telah dikaruniai putera puteri antara lain Kiai Mursidi, dari Kiai Mursidi inilah beranak pinak hingga dari anaknya yaitu Kiai Mardali ( ahli menulis khotbah Jumat dan hari raya dengan tulisan Arab ) menurunkan Kiai Aqil, Kiai Nawawi, Kiai Asnawi, KH. Abdul Fatah, Nyi Fatimah, Nyi Fatmah dan KH. Abdul Aziz seorang santri yang menimba ilmu di Mekkah satu kurun dengan Syaikh Yasin al-Fadani.

Catatan : Kiai Hamdan Suhaemi, Serang, 24-5-2022

Kita meyakini bahwa kemuliaan itu timbul didasari ilmu dan adab, bukan karena keturunan mulia dan nasab yang berderajat tinggi. Karena yang menghiasai manusia menjadi mulia adalah akhlaknya, sedangkan mulia di sisi Allah SWT adalah ketaqwaannya. Sementara keturunan dari leluhur yang berderajat tinggi itu hanya bonus dari karsa Tuhan atas kita.

Pangeran Gebang dan Madrais

Ketika Belanda memorakporandakan Kepangeranan Gebang karena menolak kedatangan Belanda. Gebang akhirnya bekerja sama dengan Mataram menyerang Batavia. Masyarakat Gebang sering melakukan kraman—kerusuhan untuk menyabotase— tanam paksa di daerah kekuasaan Cirebon yang bekerja sama dengan kompeni. Akhirnya, ada yang menyampaikan kepada pemerintahan Belanda bahwa kerusuhan itu direstui oleh Pangeran Gebang. Sejak itulah kekuasaan Gebang dilumpuhkan dan wilayahnya dibagikan kepada tiga kasultanan, yaitu: Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan.

Secara getok tular (mulut ke mulut) dari leluhur kami. Dulu sembunyi-sembunyi, dengan datangnya Islam, ada yang namanya Islam abangan, nah kami dikatakan Sunda Wiwitan, istilah wiwitan itu maknanya yang pertama. Sebelum kedatangan agama dari luar Nusantara, kami sudah ada. Pegangannya adalah yang dikenal dengan tritangtu, yakni tri tangtu dibuana, tritangtu dinaraga, tritangtu dinagara, jadi itu juga termasuk apa yang ada dalam pikiran, naluri, rasa, dan pikir.

Jadi, sebelum Kiai Madrais lahir, komunitas ini sudah ada. Dasarnya, kepercayaan pada ajaran lama Sunda Wiwitan.

Karena P. Gebang bertentangan dengan Belanda, Pangeran Gebang mengungsikan putranya, Kiai Madrais, ke Cigugur ini. Karena Cigugur daerah basis tentara Mataram manakala ingin menyerang Batavia. Kiai Madrais yang dulunya Pangeran Sadewa Alibassa, mengajarkan kerohanian. Pada waktu itu, asal ada orang tua mengajarkan kerohanian disebut kiai dan tempatnya disebut pesantren.

Kiai Madrais tidak hanya mengajarkan agama Islam, muridnya ada yang Khonghucu dan agama lain. Beliau mengarahkan agar umat benar-benar menghayati ajaran agama. Bahwa engkau orang muslim tidak akan menjadi orang Arab, engkau seorang Katolik atau Kristen tidak menjadi orang Romawi atau Eropa, engkau penganut Hindu tidak menjadi orang India, engkau tetap berpijak di bumi Sunda.

Kiai Madrais tidak mengatakan Sunda itu sebagai Jawa Barat saja, tetapi Sunda Besar dan Sunda Kecil, yang tak lain adalah Nusantara ini. Belanda akhirnya curiga, lalu menghimpun kekuatan dan kami dipecah belah dengan stigma dan label sebagai orang kafir yang menyesatkan. Hingga akhirnya Kiai Madrais dibuang ke Tanah Merah, Merauke (Papua) selama tahun 1901-1908.

Jadi, kami ini meneruskan ajaran Kiai Madrais itu. Ada yang murni artinya memakai ajaran Sunda, ada yang Islam, ada Kristen, tetapi mereka tetap percaya ajaran leluhur. Maka setiap tahun yang jatuh pada 22 Rayagung ada upacara syukuran yang diselenggarakan secara plural, doa lintas agama.


Pangeran Losari / Panembahan Losari / Pangeran Sutajaya / Pangeran Wirasuta

RINGKASAN CERITA PURWAKA CARUBAN NAGARI ( Terdiri dari 39 bagian )

Bagian Keduapuluh Satu

Berisi untaian keturunan Susuhunan Jati, Perkawinan Susuhunan Jati dengan Nyai Tepasari, Putri Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit beroleh dua orang putra; Nyai Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin bergelar Pangeran Pasarean. Nyai Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Sabrang Lor, Sultan Demak kedua yang memerintah selama tiga tahun. Dari perkawinan itu , Nyai Ratu Ayu tidak berputra karena Pangeran Sabrang Lor tewas dalam pertempuran laut melawan angkatan bersenjata Portugis-- saat menyerang Malaka untuk kedua kalinya. Kemudian, Ratu Ayu bersuamikan Pangeran Pase bernama Ki Padhilah yang beristrikan Nyai Pembaya (Pembayun)--janda Pangeran Jayakelana. Dari perkawinan itu, Ratu Ayu beroleh seorang putri bernama Ratu Wanawati Raras dan seorang putra bernama Pangeran Sedang Garuda.

Adapun Pangeran Pasarean memperistri janda Pangeran Gung Anom, kakak-nya, yakni Ratu Nyawa. Dari perkawinan itu, ia berputra enam orang;

  1. Pangeran Kesatriyan yang beristrikan seorang Putri dari Tuban dan bertempat tinggal di sana;
  2. Pangeran Losari yang menjadi Panembahan Losari;
  3. Pangeran Suwarga yang manjadi Adipati Cirebon bergelar Pangeran Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning dan beristrikan Ratu Wanawati Raras,
  4. Putri Ratu Ayu dengan Ki Padhilah;
  5. Ratu Emas yang bersuamikan Ratu Bagus dari Banten [Pangeran Sentana Panjunan],dan
  6. Pangeran Weruju.

sumber :

  1. http://cirebonme.blogspot.com/2008/10/cerita-purwaka-caruban-nagari...

info lainnya :

  1. Sa'dah Azmatkhan Al-Husaini
  2. http://sosbud.kompasiana.com/2009/11/12/cirebon-tautan-yang-tersera...
  3. http://gunung-jati.blogspot.com/2013/02/keraton-gebang.html
  4. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/manuskripta/article/view/408/pdf

Pangeran Sutajaya menikahkan putrinya yang bernama Ratu Agung dengan Pangeran Sujatmaningrat atau Pangeran Pengantin dari Kesultanan Kanoman. Pada tahun 1860 Pangeran Sujatmaningrat mendirikan keraton baru sebagai pengganti keraton yang dihancurkan oleh Belanda yang hingga sekarang masih berdiri dan disebut dengan Keraton Gebang.

http://indoprogress.com/2013/07/penulisan-cerita-budug-basu-di-kala...

Other same name : Pangeran Wirasuta .