Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati

public profile

How are you related to Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati?

Connect to the World Family Tree to find out

Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati's Geni Profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati (Syarif Hidayatullah)

Indonesian: {17} Syarief Hidayatullah Sunan Gunung Jati (1448-1568M)
Also Known As: "Syekh Maulana Jati", "Syekh Jati", "Sunan Gunung Jati", "Walisongo-9", "Sunan Gunungjati (1448-1568M)"
Birthdate:
Birthplace: Cairo, Cairo Governorate, Egypt
Death: September 19, 1568 (119-120)
Cirebon, Cirebon City, West Java, Indonesia
Immediate Family:

Son of Abdullah Mahmud Umdatuddin Azmatkhan Raja Champa 1471-1478 and NM Rara Santang Syarifah Mudaim
Husband of Nyi Mas Kending Sari; (No Name); Nyimas Lara Santang H. Djuwa; Dewi Alawiyah Bt Raden Ahmad Rahmatullah Sunan Ampel (23); #6 Rara Jati / Fatimah / Syarifah Baghdad (Nyai Mas Syarifah Panata Pasambangan) . and 8 others
Father of Pangeran Sendang Garuda; Pangeran Mangkura Trusmi; Dewi Sufiyah; Syech Syarif Abdurahman/Cirebon H. Djuwa; 5 Pangeran Jaya Kelana Mangkurat/ Maolana Wilayatulloh and 28 others
Brother of Sultan Abul Muzaffar Waliullah Ibni Syarif Abu Abdullah and Syarif Arifin
Half brother of Syarif Babullah (Sultan Ternate) and Sultan Alam Akhbar Al-Fatah

Label: DNA
Managed by: Private User
Last Updated:

About Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati

Ayah[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu[sunting | sunting sumber] Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung ( Cirebon )

Silsilah[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad, India) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin Sayyid Ali Kholi' Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin Al-Imam Sayyidina Hussain Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Silsilah dari Raja Pajajaran[sunting | sunting sumber] Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Rara Santang (Syarifah Muda'im) Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali) Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I Prabu Linggabuanawisesa @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat) Pertemuan orang tuanya[sunting | sunting sumber] Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibu dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Datuk Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang, kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayah dan kakeknua datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Pernikahan Rara Santang putri dari Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Maulana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Riwayat hidup[sunting | sunting sumber] Proses belajar[sunting | sunting sumber] Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan[sunting | sunting sumber] Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak[sunting | sunting sumber] Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana ia memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini, ia berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Maulana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunannya juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi[sunting | sunting sumber] Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 pada tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan[sunting | sunting sumber] Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayatullah adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum ia wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan, ia adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.



Name in Alawiyin website: SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati)

Reference Link: http://familytreemaker.genealogy.com/users/a/s/y/Naqobatul-Asyrof-J...

Salah seorang Wali Songo yg menyebarkan Islam di Cerebon, Jawa Barat. Menurunkan ulama'-ulama' dan sultan-sultan Banten di Jawa Barat dan Palembang, dan keturunan Raden.



Ancestor of the royal houses of Banten, Cheribon and Palembang.


Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

(sumber: Wikipedia Indonesia)



One of Walisongo in West Java


Sunan Gunung Jati.

Versions: "Terah Bojongjati" and "Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda".

Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).

Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.

Susuhunan Cirebon.

Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.

Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati

Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati:

In this Tree, based on book "Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja":

Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati.

Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree):

Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi.

Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Notes on May 20, 2009:

His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile:

Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati



www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htm

Syarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon.

Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows:

Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married.

During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570.

Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey

Posted on July 26, 2008 by Nia

© 2008 Nia’s Match

http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-li...

An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam.

On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes.

On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds.

In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction.

In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan.

Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon.

During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant.

The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex.

Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung.

Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well.

The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”.

After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died.



Salah seorang Wali Songo yg menyebarkan Islam di Cerebon, Jawa Barat. Menurunkan ulama'-ulama' dan sultan-sultan Banten di Jawa Barat dan Palembang, dan keturunan Raden.



Ancestor of the royal houses of Banten, Cheribon and Palembang.


Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

(sumber: Wikipedia Indonesia)



One of Walisongo in West Java


Sunan Gunung Jati.

Versions: "Terah Bojongjati" and "Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda".

Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).

Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.

Susuhunan Cirebon.

Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.

Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.

Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati

Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati:

In this Tree, based on book "Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja":

Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati.

Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree):

Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi.

Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Notes on May 20, 2009:

His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile:

Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati



www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htm

Syarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon.

Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows:

Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married.

During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570.

Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey

Posted on July 26, 2008 by Nia

© 2008 Nia’s Match

http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-li...

An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam.

On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes.

On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds.

In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction.

In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan.

Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon.

During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant.

The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex.

Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung.

Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well.

The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”.

After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died.



Sunan Gunung Jati. Merge Terah Bojongjati with book Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon). Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568. Susuhunan Cirebon. Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w. Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.

===============================================================================================================================================

Additional notes in GENI
Notes from Ismail 23 Jan 2009: Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Gunung_Jati Notes from Erni 15 April 2009: Notes on relationship between Pangeran Panjunan and Sunan Gunung Jati: In this Tree, based on book "Sadjarah Raden Kandoeroean Soema di Pradja": Pangeran Panjunan, son of Ratu Petak, son of Pangeran Pasarean, son of Sunan Gunung Jati. Info from Moggi March 2009 (Azmatkhan Tree): Pangeran Panjunan / Sayyid Abdurrahman, brother of Syekh Datuk Kahfi, Sayyid Abdurrahim (Pangeran Kejaksan) and Syarifah Ratu Baghdad (married to Sunan Gunung Jati), son of Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi. Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, brother of Sayyid Husain, one of his son Sayyid Ali Nurul Alam, one of his son Sayyid Abdullah, father of Syarif Nurullah and Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Notes on May 20, 2009: His name in Joyce FG: Sunan Gunung Jati, link to his other profile: Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati Name in Alawiyin website: SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati) Reference Link: http://familytreemaker.genealogy.com/users/a/s/y/Naqobatul-Asyrof-J...

SY.HIDAYATULLAH-Abdullah-24(7. Sunan*GunungJati).

www.petra.ac.id/eastjava/walisongo/jati.htm Syarif Hidayatullah, Muhammad Nuruddin, Sayyid Kamil, Syekh Nurullah, and Faletehan are just some of the names which have been given to Sunan Gunung Jati, the wali who is said to have converted the western third of Java Islam virtually single-handed and to have founded the independent State of Cirebon. Concerning the birth, life, and death of this member of the Wali Songo, there are several conflicting stories, yet the main thread runs as follows: Syarif Hidayatullah or Syekh Nurullah was born in Pasei, North Sumatra. According to some people, he was the son of Syekh Maulana Ishak and half-brother of Sunan Giri. Following the Portugese invasion of his homeland in 1521, he travelled to Mecca, where he stayed for three years. On his return, he entered the service of Sultan Trenggana of Demak, whose younger sister he married During the next few years, as a brilliant military commander, he succeeded in subjugating the north west coast of Java as well as the State of Banten. After successfully blocking an attempt by the Portugese to land at Sunda Kelapa (Jakarta) in 1527, he settled in the region of Cirebon, where he continued to live and teach until his death in A.D. 1570. Sunan Gunung Jati: His Life Upon His Journey Posted on July 26, 2008 by Nia © 2008 Nia’s Match <http://niaimaniah.wordpress.com/2008/07/26/sunan-gunung-jati-his-li...> An Egyptian sultan named Sultan Maulana Mahmud got married to a princess from Pajajaran in 1447, named Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Mudaim) in Tursina mosque. As a result of their marriage, they had two children, named Syarif Hidayatullah (born: 1448 AD) and Syarif Nurullah (born: 1450 AD). Both Egyptian-Pajajaran spouses made this following agreement: Their sons would act as persons who would convert all people in Java and their counterparts into Islam. On the Islamic date 5, in the month of Jumadilawal, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah made his way to learn Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). On his way to learn Islam, Syarif Hidayatullah also met Prophet Solomon and Prophet Ilyas. Syarif Hidayatullah understood the languages used by jinn (English: genie), satans, angels, animals, and wind. He also instinctively knew the restorative power of plants and fruits. He was also capable of bringing the dead efficacious plants to life, and was capable of speaking to the dead. He had the power to chill fire, and was capable of staying dry in water. He was also capable of reaching his place destination in no time, within the blink of eyes. On the Islamic date, 28th Rajab, year 1466 AD, Syarif Hidayatullah ascended to the 6th heaven and met Prophet Muhammad (peace be upon him). At this time, he was learning Islam from Prophet Muhammad (peace be upon him). In this year, he received the title ‘Insankamil’ from Prophet Muhammad. After embracing the full knowledge taught by Prophet Muhammad (peace be upon him), he descended to the 5th heaven, and eventually reached the 1st heaven. He descended to to the Ajrak court from the 1st heaven by riding on white clouds. In Nispu Sya’ban year 1466 AD, Maulana Insankamil Syarif Hidayatullah came to see his mother, Nyi Mas Rarasantang (Hj. Syarifah Muda’im) in the Egyptian court. His journey from the beginning to the end resulted in satisfaction. In 1468 AD, Syarif Hidayatullah (Maulana Insankamil) became an Egyptian sultan, named Sultan Maulana Mahmud. In 1472, He was already in Cirebon and met the village chief, named Abdullah Iman = Cakrabuana = Prabu Siliwangi Pajajaran = Prabu Anom = Sri Mangana to introduce Islam. Sultan Syarif Nurullah acted as his replacement as an Egyptian sultan. Syarif Hidayatullah took Ki Syekh Nur Jati as his guru (teacher) in Cirebon and Sunan Ampel in Ampeldenta. In 1479, he was installed as the Head of Cirebon State with the name ‘Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Penata Agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullah Solallohu Alaihi Wassalam. Until now, he is known as Sunan Gunung jati from Cirebon. During his journey to China, he was successful in converting high-ranking officials, prominent people, and many people in Tartar and its neighbouring states. In 1481 AD, the Great Princess from China, named Princess Ong Tien met Sunan Gunung Jati. The Great King of China, Princess Ong Tien’s father, made an experiment. The experiment is explained as follows: Princess Ong Tien put a brass bowl (Indonesian: bokor kuningan) on her stomach made to look like as if she had been pregnant. The Great King asked Sunan Gunung Jati to answer his question, whether his daughter was pregnant or had a disease. Sunan Gunung Jati answered that Princess Ong Tien was pregnant. Princess Ong Tien was furious, Sunan Gunung Jati was lashed out and chased away. In fact, she WAS pregnant under God’s will without having a sexual intercourse with an opposite sex. Sunan Gunung Jati continued his journey on his Islamic mission from one place to another, until he reached the Cirebon court close to Gunung Sembung. Princess Ong tien and The Great King of China along with 1524 people riding on three ships and the treasures inside sailed to catch Sunan Gunung Jati in Cirebon. Sunan Gunung Jati was in Luragung court. The Great King of China, Princess Ong Tien, and their entourage went to Luragung to meet Sunan Gunung Jati. At that time, Sunan Gunung Jati was sitting with his assistant, named Gedeng Kemuning. The Great King of China handed over the pregnant Princess Ong Tien along with all of his belongings to Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati treated The Great King of China and Princess Ong Tien well. The time came for Princess Ong tien to give birth. Her son was named Prince Kuningan (Arya Kemuning). Arya Kemuning lived in Kuningan, Cirebon. The Great King of China and Princess Ong Tien converted to Islam. Princess Ong Tien married to Sunan Gunung Jati, and she received a title, “Nyi Mas Rara Sumanding”. After several years, Princess Ong Tien or Nyi Mas Rara Sumanding died



Sharif Hidayatullah (1448-1568), the son of Nyai Rara Santang and Sharif Abdullah of Egypt. He married his cousin, Nyai Mas Pakungwati daughter of Cakrabuana and Nyai Mas Endang Geulis. He is popularly known with his posthumous name, Sunan Gunung Jati, with stylised name Tumenggung Sharif Hidayatullah bin Sultan Maulana Muhammad Sharif Abdullah, and also holding the title as Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. He ascended the throne as Sultan Carbon I and resided in Keraton Pakungwati. (Wikipedia)


Sunan Gunung Jati.
Merge Terah Bojongjati with book Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.
Lahir 1448, wafat 19 september 1568 di Cirebon, makamnya di Astana Gunung Jati (Cirebon).
Raja Pakungwati (Cirebon), 1479-1568.
Susuhunan Cirebon.
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah s.a.w.
Pandita Ratu, Pate Cherimon, Pati Cirebon, Adipati Cirebon.
WIKI


Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Lahir : 1448 M. dari rahim Ibu Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) bin Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Syarif Abdullah bin

Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan agung para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara (bahasa Cirebon: Gotra Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon maka Pangeran Raja Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli di bidangnya.

Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang di dalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.

Penelusuran sejarah tentang asal-usul Syarief Hidayatullah telah dilakukan oleh Pangeran Raja (PR) Nasiruddin dengan melakukan penelitian terhadap naskah naskah yang ada dengan dibantu oleh para ahli di bidangngnya dalam pertemuan agung Gotra Sawala pertama di Cirebon, penelusuran tersebut menghasilkan sebuah kitab yang diberi nama Negara Kertabhumi yang memuat bab tentang silsilah Syarief Hidayatullah dalam Tritiya Sarga, isinya sebagai berikut:

Pelurusan Sejarah Silsilah

Dalam Negara Kertabumi

Syarif Hidayatullah / Sayyid Al-Kamil / Susuhunan Jati / Susuhunan Cirebon, bin
Syarif Abdullah + Nyi Hajjah Syarifah Mudaim binti Raja Pajajaran Sunda (Nyi Mas Rara Santang)
Ali Nurul Alam + Puteri Mesir
Jamaluddin Al-Husein
Al-Amir Akhmad Syekh Jalaludin
Amir Abdullah Khan
Abdul Malik (India)
Alwi 'Ammul faqih Hadhramaut
Muhammad Shohib Mirbath
Ali Khali' Qasam
Alwi Shohib Bait Jubair
Muhammad Maula As-Shauma'ah
Alwi Al-Mubtakir
Ubaidillah
Ahmad Al-Muhajir
Isa Al-Rumi
Muhammad An-Naqib
Ali Al-Uraidhi
Ja'far Ash-Shadiq (Madinah)
Muhammad Al-Baqir
Ali Zainal Abiddin
Husein As-Syahid
Sayyidah Fatimah Al-Zahra' RA
Nabi Muhammad Rasulullah SAW
Abdullah
Abdul Muthalib
Hasyim
Abdul Manaf
Qusay
Kilab
Murroh
Ka'ab
Luay
Ghalib
Dst.

Naskah Kaprabonan

Kanjeng Nabi Muhamad SAW
Sarifah Siti Fatimah
Husen
Jaenal Abidin
Muhammad Mubarakin
Imam Ja’far Sidiq
Musa
Kalijam
Habi Jamali
Amad Nakiddi
Ali Nakiddi
Hasan Sukri,
Muhammad Dadi
Raja Banissrail
Ratu Mesir
Raja Duta
Kanjeng Sinuhun Carbon / Syarif Hidayatullah Sunan Gunungjati

Kitab Purwaka Caruban Nagari

  1. Nabi Muhammad SAW
  2. Siti Fatimah
  3. Sayid Husen
  4. Sayid Abidin
  5. Muhammad Baqir
  6. Ja’far Sidik
  7. Kasim al-Malik
  8. Idris
  9. Al-Baqir
  10. Ahmad
  11. Baidillah
  12. Muhammad
  13. Alwi al-Mishri
  14. Abdul Malik
  15. Amir
  16. Ali Nurul Alim
  17. Syarif Abdullah (Sultan Hut / Sultan Mahmud)
  18. Sunan Gunung Jati

Sedangkan salah satu versi utama yang menjadi rujukan umum berbagai pihak yang isinya selaras dengan Kitab Negara Kertabumi adalah

Kitab Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait

Sebagaimana yang tercatat dalam silsilah Syarif Hidayatullah di sebuah organisasi peneliti nasab Naqobatul Asyrof al-Kubro dan Rabithah Alawiyah, yang juga tercantum dalam kitab Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait karya ulama Yaman, Sayyid Abdurrohman bin Muhammad al-Masyhur, silsilah lengkap Syarif Hidayatullah adalah sebagai berikut:[3][4]

  1. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati putera dari
  2. Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan bin
  3. Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan bin
  4. Sayyid Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini (Syekh Jumadil Kubro) bin
  5. Sayyid Ahmad Jalal Syah Azmatkhan bin
  6. Sayyid Abdullah Azmatkhan bin
  7. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
  8. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut) bin
  9. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut) bin
  10. Sayyid Ali Kholi’ Qosam bin
  11. Sayyid Alawi ats-Tsani bin
  12. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
  13. Sayyid Alawi Awwal bin
  14. Sayyid al-Imam ‘Ubaidillah bin
  15. Sayyid Ahmad al-Muhajir bin
  16. Sayyid ‘Isa Naqib ar-Rumi bin
  17. Sayyid Muhammad an-Naqib bin
  18. Sayyid al-Imam Ali Uradhi bin
  19. Sayyidina Ja'far ash-Shadiq bin
  20. Sayyidina Muhammad al-Baqir bin
  21. Sayyidina Ali Zainal Abidin bin
  22. Sayyidina Husain bin
  23. Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti
  24. Rasulullah Muhammad S.A.W.

RIWAYAT

Pangeran Walangsungsang yang kemudian bergelar Sri Manggana (Raja pertama Cirebon Larang), memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Walangsungsang (Samadullah) dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir.

Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.

Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana membangun Kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.

Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480) ia menikahi adik dari Bupati Banten saat itu, Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin. Maulana Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten pertama.

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecenderungan spiritual dari kakek buyutnya, Jamaluddin Akbar al-Husaini, sehingga ketika telah selesai menimba ilmu di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan pembelajaran agamanya ke Timur Tengah.

Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.

1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.

Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.

Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.

Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada Pangeran Treggono (setelah Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.

Kesultanan Cirebon
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).[5]

Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[6]

Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.

“ Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.

(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)


Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.[5][6] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).

Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.[7]

Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[8]

Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487, yang mana Walisongo memberikan peranan penting dalam sejarah pendiriannya. Pada masa ini, Syarif Hidayatullah berusia sekitar 37 tahun (kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak pertama).

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa (bukan hanya di Demak), maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian atau Vasal dari Kesultanan Demak.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling dituakan di Dewan Muballigh (Walisongo), bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Pendirian Kesultanan Banten & Jatuhnya Sunda Kelapa

Wilayah Kesultanan Cirebon Pada Masa Puncak Kejaannya, Kesultanan Banten Sebagai Vasal Kesultanan Cirebon
Setelah pendirian Kesultanan Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit baik bagi Syarif Hidayatullah maupun Raden Patah, karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari Kerajaan Sunda, Galuh (sekarang bagian dari Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) serta gangguan eksternal dari Portugis yang telah mulai melakukan ekspansi di wilayah Asia Tenggara.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten-Demak-Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara.

Kegagalan Ekspedisi Jihad II Pati Unus yang sangat fatal pada tahun 1521 kemudian memaksa Syarif Hidayatullah merombak pimpinan armada gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai sebagai Panglima berikutnya yang menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa, menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.

Syiar Islam ke Banten dan Pendirian Kesultanan Banten

Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan Pucuk Umun [9]%28penguasa%29 Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari Prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi Pucuk Umun (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi Pucuk Umun untuk wilayah Wahanten Girang.[10]

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung Anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 M.[7] Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke Kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa Kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para Wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para Wali.

Latar Belakang Penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.

Persekutuan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya Dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.[11]

Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten.[12]

Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[13] sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten.

Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah SWT),[14] yang kemudian aktivitas dakwah ini dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[15] dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan Sunda.

Pada tahun itu juga Kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya Dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya Dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara Kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila Kerajaan Sunda diserang oleh Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[11]

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan Raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[16] untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa[17] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ (dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.

Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan Syahbandar) [18] Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[19]

Penguasaan Banten

Pada tahun 1522,[20] Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.[21] Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 M.[22]

Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[23] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.[24]

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa Pucuk Umun (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya.

Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya[25] Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan. Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.[26]

Penyatuan Banten

Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.[27]

Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[20] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya Pucuk Umun (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pertumpahan darah banyak rakyat (karena raja amat sayang dengan rakyatnya, sehingga diberikanlah kekuasaan berikutnya ke tangan Sunan Gunung Jati) akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[28] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin.

Dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten,[29] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten.[30] Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin. Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[27]

Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).[31]

Perebutan pengaruh antara Kerajaan Sunda Galuh dengan Kesultanan Banten-Cirebon segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Kerajaan Sunda Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran dan Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan

Setelah Pakuan Pajajaran yang merupakan ibu kota Kerajaan Sunda Galuh jatuh kepada Syarif Hidayatullah pada tahun 1568 (hanya satu tahun sebelum ia wafat pada tahun 1569 dalam usia yang hampir 120 tahun), kemudian terjadi perundingan terakhir antara Syarif Hidayatullah dengan para pegawai istana, Syarif Hidayatullah kemudian memberikan 2 opsi:

Bagi para pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya, seperti gelar Pangeran-Putri atau Panglima akan tetap disandangnya, dan kemudian mereka dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing.
Bagi para pembesar Istana Pakuan yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibu kota Pakuan Pajajaran untuk diberikan tempat di pedalaman Banten (wilayah Cibeo sekarang).

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi pertama. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi kedua. Diyakini mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman yang hanya sebanyak 40 keluarga (karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan). Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Dengan segala jasa Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.[32]

Wafat

Makam Sunan Gunung Jati
Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.

Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun, di mana putra dan cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu, melainkan cicitnya lah yang memimpin Kesultanan Cirebon setelah wafatnya Syarif Hidayatullah.

Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.

Dalam catatan sejarah yang kudapatkan dari buku “Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809”, Sunan Gunung Jati tercatat pernah mempunyai 6 orang istri.

Istri yang pertama adalah Nyai Ratu Kawunganten, putri bupati Kawunganten Banten. Darinya, Sunan Gunung Jati mempunyai 2 orang anak. Yakni Nyai Ratu Winahon dan Maulana Hasanudin, yang kemudian menjadi Sultan Banten. Hubungan dengan Demak terjalin karena Maulana Hasanuddin sendiri, menikahi salah seorang putri Sultan Trenggono, raja Demak ketiga.

Lalu dari istri yang bernama Nyai Babadan, anak Ki Gedeng Babadan, Sunan Gunung Jati mempunyai dua anak juga. Yakni Pangeran Trusmi dan Ratu Martasari.Setelah itu Sunan Gunung Jati juga menikahi putri pamannya, Pangeran Cakrabuwana, yang bernama Nyai Ratu Dewi Pakungwati. Namun sang istri wafat ketika dalam peristiwa terbakarnya Masjid Agung Sang Ciptarasa dan tidak melahirkan keturunan. Istri berikutnya adalah Putri Ong Tien, putri seorang pembesar Cina, namun juga tidak mendapatkan anak.

Istri yang lain adalah Nyai Ageng Tepasari. Putri Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit yang telah menjadi keluarga Demak setalah Majapahit runtuh. Seorang perempuan yang dinikahinya di Demak, bersamaan dengan kedatangannya dalam pembangunan Masjid Demak. Dan inilah konon awal dari hubungan kekeluargaan antara Demak dan Cirebon mulai terjalin.

Dari Nyai Ageng Tepasari, Sunan Gunung Jati mendapatkan 2 orang anak, yakni Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Pasarean. Dan hubungan makin terjalin erat dengan Demak, karena Ratu Wulung Ayu pun menikah dengan Pati Unus yang kemudian menjadi raja Demak kedua menggantikan ayahnya, Raden Patah. Sementara Pangeran Pasarean juga menjalin hubungan keluarga dengan Demak, karen menikai putri Raden Patah yang lain, Ratu Nyawa, yang sebelumnya adalah janda dari Pangeran Bratakelana, anak Sunan Gunung Jati juga namun dari istri lainnya.

Sementara dari pernikahannya dengan Nyai Lara Baghdad, putri Maulana Abdullrahman Al-Baghdadi, Sunan Gunung Jati mendapatkan 2 orang anak juga. Yang pertama adalah Pangeran Jayakelana, yang menikah dengan keluarga Demak juga, putri Raden Patah yang bernama Ratu Pembayun. Sementara putra kedua, Pangeran Bratakelana, juga menikah dengan anak Raden Patah yang lain, yakni Ratu Nyawa. Yang setelah kematiannya dalam pertarungan melawan bajak laut sepulang dari Demak, kemudian diperistri oleh saudaranya, Pangeran Pasarean.

Jadi pahamlah aku kemudian, mengapa Demak dan Cirebon mempunyai hubungan dekat. Yang pertama tentu karena kesamaan kedudukannya. Demak adalah penerus dari takhta Majapahit yang telah hancur, dan Cirebon yang adalah penerus dari takhta Pajajaran yang telah runtuh. Raden Patah adalah keturunan dari Kertabumi, raja Majapahit terakhir, sementara Sunan Gunung Jati adalah cucu dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran terakhir.

Yang berikutnya adalah karena Sunan Gunung Jati termasuk Dewan Wali dari Kesultanan Demak, yang bertanggungjawab atas jalannya pemerintahan. Hal itulah yang makin menguatkan posisi Sunan Gunung Jati di Demak. Tentu saja selain karena telah terjadinya pernikahan antara Cirebon dan Demak.

NASAB

23) SUNAN GUNUNG JATI bin
22) Syarif Abdullah Umdatuddin bin
21) Ali Nurul Alam bin
20)Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin
19) Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
18) Sayyid Abdullah bin
17) Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
16) Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
15) Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
14) Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
13) Sayyid Alwi bin
12) Sayyid Muhammad bin
11) Sayyid Alwi bin
10) Sayyid Ubaidillah bin
9) Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin
8) Sayyid Isa bin
7) Sayyid Muhammad bin
6) Sayyid Ali Al-Uraidhi bin
5) Imam Ja’far Shadiq bin
4) Imam Muhammad Al-Baqir bin
3) Imam Ali Zainal Abidin bin
2) Imam Al-Husain bin
1) Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
0) NABI MUHAMMAD RASULULLAH

Władcy Cirebonu
Dynastia muzułmańska

  * Nieznani władcy (1478-1527)
  * Sunan Gunung Dżati (władca Cirebonu w zachodniej części Jawy Zachodniejok. 1527-1570; władca Bantamu ok. 1527-1552)
  * Ratu (ok. 1570-1649; król (panembahan) od 1639) [prawnuk]
  * Zależność od Mataramu 1582-1679
  * Giri Laja (1649-1662) [wnuk]
  * Rozpad państwa na cztery pałace (kraton) 1662-1819

Kraton Kasepuhan

  * Sepuh I Szams ad-Din (sułtan 1662-1697) [syn]
  * Sepuh II Dżamal ad-Din (1697-1723) [syn]
  * Protektorat holenderski 1705/1758-1819
  * Sepuh III Salam ad-Din (1723-1734) [syn]
  * Sepuh IV Tadż al-Arifin Muhammad Zajn ad-Din (1734-1753) [syn]
  * Sepuh V Muhammad Szams ad-Din (1753-1773)
  * Sepuh VI (1773-1787) [syn]
  * Sepuh VII (regent 1781-1787; władca 1787-1791) [brat]
  * Sepuh VIII (1791-1819; regencja 17791-1792; usunięty, zmarł 1845) [syn]
  * Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Kraton Kasepuhan 1819

Kraton Kanoman

  * Anom I Abu-Manasiri Badr ad-Din (sułtan 1662-1703) [syn Giri Laji]
  * Hallar ad-Din (1703-1706) [syn]
  * Protektorat holenderski 1705/1758-1819
  * Radża Kusama (1706-1719)
  * Anom II Abu-Manasiri Muhammad Alim ad-Din (1719-1732) [syn]
  * Temenggong (Minister) (1732-1744)
  * Anom III Abu’l-Chajr Muhammmad Chajr ad-Din (1744-1797) [syn Anoma II]
  * Anom IV Iman ad-Din (1797-1819; usunięty, zmarł 1853) [syn nieślubny]
  * Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Kraton Kanoman 1819
  * Anom Muhammad Nurus (?-198?)
  * Hadżi Muhammad Dżalaluddin (?-2002)
  * Muhammad Saladin (2003)
  * Radża Muhammad Emiruddin (2003-dziś)

Kraton Kaprabonan

  * Cirebon I Abd al-Kamil Muhammad Nasr ad-Din (władca (panembahan) 1694-1714) [syn Radży Kusamy]
  * Protektorat holenderski 1705/1758-1819
  * Temenggong (Minister) (1714-1725)
  * Cirebon II Abd al-Pahur Muhji ad-Din (1725-1731) [syn Cirebona I]
  * Temenggong (Minister) Secadipura (1731-1752)
  * Cirebon III Muhammad Tajr Jaridin Sabririn (1752-1773) [syn Cirebona II]

Kraton Kacirebonan

  * Kamar ad-Din (władca (pangeran) 1697-1723)
  * Protektorat holenderski 1705/1758-1819
  * Cirebon I Muhammad Akbar ad-Din (sułtan 1723-1734) [syn]
  * Cirebon II Abu Muharram Muhammad Salih ad-Din (1734-1758) [brat]
  * Cirebon III Muhammad Harr ad-Din (1758-1768) [syn]
  * Interregnum 1768-1808
  * Cirebon IV (1808-1810) [brat]
  * Interregnum 1810-1819
  * Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Kraton Kacirebonan 1819

Sumber:
- Carita Purwaka Caruban Nagari
- [http://www.royalark.net/Malaysia/kelant2.htm]

view all 50

Syarief 1 Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatulloh / Muhammad Nuruddin / Sri Mangana) Mahdoem Gunung Djati's Timeline