[2] 1.2. Sayyidina wa Maulana Husain

public profile

[2] 1.2. Sayyidina wa Maulana Husain's Geni Profile

Share your family tree and photos with the people you know and love

  • Build your family tree online
  • Share photos and videos
  • Smart Matching™ technology
  • Free!

About [2] 1.2. Sayyidina wa Maulana Husain

Sayyidina Husain bin Ali bin Abu Thalib

Cucu Rasulullah SAW, meninggal pada tragedi Karbala 10 Muharram tahun ke-61 Hijriyah.

Makbaroh :
1. Masjid Maolana al-Hussein 1154 M komplek Kairo lama
2. Masjid Husein Karbala
3. Masjid Al-Nuqtah Alepo

Dalam peristiwa tersebut, Husain meninggal dibunuh dengan cara sadis yaitu dipenggal kepalanya dan dipisahkan dari badannya. Ia terbunuh oleh pasukan dari Yazid bin Muawiyah saat hendak ke Kuffah. Kepala Husein dipenggal oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai menurut Ibnu Katsir. Kepala Sayyidina Husen lalu diserahkan ke Yazid bin Muawiyah.

Yang lebih tragis lagi, hingga kini, makam cucu Nabi Muhammad SAW itu menjadi misteri besar dalam sejarah Islam yang masih banyak diperdebatkan. Sumber-sumber Syiah menyebutkan bahwa makam kepala Sayyidina Husain yang mulia berada di Karbala. Namun sumber-sumber selain Syiah menyebutkan berbagai macam tempat tak hanya Karbala.

Makam Karbala, Irak

Al-Qurthubi dalam Al-Tadzkirah meriwayatkan dari Mazhab Imamiyah bahwa kepala Husain berhasil diambil dan disatukan dengan badan beliau di Karbala pada hari keempat puluh setelah tragedi Karbala. Karena itu, setiap 20 Safar Karbala akan ramai dikunjungi peziarah untuk memperingati hari berkumpulnya kepala dan jasad beliau. Namun pendapat ini tidak ada sumber rujukannya dari ulama-ulama Sunni.

Makam berada di Kairo, Mesir

Menurut Al-Qalqasyandi, ketika Raja Al-Faiz bi Dinillah yang merupakan salah seorang raja Syiah Fathimiyah di Mesir hendak membangun universitas, dia ingin agar kepala Husain dibawa ke sana. Akhirnya Al-Faiz memerintahkan Thala’i bin Ruzzik untuk menyogok warga Ashkelon yang dipercayai tempat dikuburnya kepala Husein sebelumnya, agar mau memindah kepala Husain ke Kairo.

Asy-Syablanji menyebut uang suap yang dikeluarkan Thala’i bernilai tiga ratus ribu Dinar. Akhirnya mereka setuju dan tentara Dinasti Fathimiyah berangkat ke wilayah tersebut dan memindahkan kepala yang diyakini sebagai Husain ke Kairo.

Lelaki Mulia berusia 58 tahun itu baru selesai melaksanakan sholat subuh. Kemudian, Husain bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya dan menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Kemudian, ia mulai menyampaikan pidato yang indah dan menyentuh hati.
“Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kekhormatanku”.
“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu (Fatimah Az-Zahra) ? Bukankah aku ini anak dari washi (penerima wasiat) dan keponakan Nabimu yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?”

“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga itu pamanku?”

“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian sendiri bahwa Rasulullah SAW pernah berkata tentang saudaraku dan aku? Kata baginda Rasul, keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga.”

“ Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku maka tanyakanlah kepada para sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Sahl bin Sa’ad, Zaid bin Arqam, dan Anas bin Malik, yang semuanya akan meberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. Tidakkah ini semua cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”.

Sayangnya mereka yang telah terkunci hatinya tidak tersadar dengan pidato yang disampaikan Sayyidina Husain tersebut. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidillah bin Ziyad itu tetap memaksa Sayyidina Husain untuk mengakui kekuasaan khalifah Yazid bin Muawiyah.

Hingga akhirnya, Husain dibunuh dengan tombak oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai. Kemudian, dia juga menggorok leher Husain dan menyerahkan kepala Husain kepada Khawali bin Yazid. Hal ini diceritakan secara rinci oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah.

Demikian, At-Thabari dalam kitabnya Tarikh At-Thabari jilid kelima halaman 425 dan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah jilid ke-8 halaman 193.

Perbedaan sumber ini dipicu oleh kejadian setelah kepala beliau dibawa ke Yazid putra Muawiyah RA. Apa yang terjadi berikutnya masih diperselisihkan oleh para ulama Sunni. Mereka menyebut enam kemungkinan tempat: Damaskus, Karbala, Raqqa, Ashkelon, Kairo, dan Madinah.

Asy-Syablanji, seorang muta’akhirin bermazhab Syafi’i dari Mesir menceritakan dalam Nurul Abshar (hlm. 267) bahwa setelah pembantaian Karbala, keluarga, tentara, dan kepala Husain digiring layaknya tawanan memasuki Kufah menuju Ibn Ziyad, pemimpin Kufah yang memerintahkan menyergap Husain di Karbala. Ketika itu, rakyat Kufah menangis dan Ali bin Husain yang masyhur dikenal sebagai Imam Zainal Abidin bertanya-tanya, jika semua orang Irak menangis iba pada kami, lantas siapa sebenarnya yang tega membunuh kami?

Setelah dari Kufah, rombongan serta kepala Husain diarahkan ke Damaskus untuk diserahkan kepada Yazid. Sampai di sini para sejarawan masih sepakat. Namun setelah dibawa kepada Yazid para sejarawan berbeda pendapat. Al-Qurthubi dalam Al-Tadzkirah (2/1122) meriwayatkan dari Mazhab Imamiyah bahwa kepala Husain berhasil diambil dan disatukan dengan badan beliau di Karbala pada hari keempat puluh setelah tragedi Karbala. Oleh karena itu, pada 20 Safar Karbala akan ramai dikunjungi peziarah untuk memperingati hari berkumpulnya kepala dan jasad beliau. Namun sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada sumber rujukan Sunni tentang riwayat ini.

Sementara Abbas Aqqad dalam Abqariyyat (3/297) menukil dari Sibt Ibn Jauzi bahwa tatkala kepala Husain diserahkan kepada Yazid, ia mengirimkan kepala itu kepada keluarga Abu Mu’aith. Keluarga Abu Muaith sendiri tinggal di Raqqa, lalu kepala itu dimakamkan di salah satu rumah mereka sebelum akhirnya digusur untuk pembangunan Masjid Jami. Penulis sendiri tidak bisa memastikan apakah Abu Mu’aith yang dimaksud ini adalah ayah dari ‘Uqbah, satu-satunya orang yang pernah dibunuh Nabi SAW. Lagi pula, riwayat Sibth Ibn Jauzi ini tidak berhasil penulis telusuri di beberapa kitab asli beliau.

Sementara As-Sakhawi dalam Tuhfah al-Lathifah (hlm 514) menukil bahwa kepala Husain diarak keliling Damaskus dan berhenti di Masjid Jami. Setelah itu, kepalanya dimakamkan di bawah tiang masjid yang menghadap kiblat. Ibn Hibban berkata—sebagaimana ditulis Al-Sakhawi, “Aku setuju hal ini”. Namun As-Sakhawi juga menyebut versi lain yang menyatakan kepalanya berada di menara ketiga Bab Firdaus di Damaskus.

Sementara Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (8/204) menulis jika kepala Husain sempat digantung di pusat Kota Damaskus selama tiga hari. Setelah itu, kepalanya disimpan di dalam brangkas senjata. Ketika Sulaiman bin Abdul Malik berkuasa ia meminta agar kepala itu diambil. Ketika itu kepalanya hanya tersisa tengkorak dan Sulaiman memerintahkan agar kepala itu dikafani dan dimakamkan di pemakaman umum orang Islam. Namun beberapa tahun berselang kelompok musawwadah (maksudnya Abbasiyah) menggali makam itu dan mencurinya.

Menariknya, dalam Tarikh al-Islam (2/583) Adz-Dzahabi sempat merekam sebuah kisah riwayat yang unik dari seorang pria bernama Abu Karb:

“Aku (Abu Karb) termasuk pemberontak yang menerobos istana Al-Walid bin Yazid. Aku juga termasuk orang yang merampok dan masuk ke dalam brangkas istana. Lalu aku menemukan safath (tempat perempuan menyimpan perlengkapannya) dan aku berpikir barangkali hal ini akan mencukupi kebutuhanku. Lalu aku keluar dan memacu kudaku. Ketika aku sudah keluar dari Bab Tuma, aku berhenti dan membuka kotak safath itu. Ternyata di dalamnya berisi sebuah benda yang dibungkus sutra. Ketika aku buka isinya adalah kepala dan bertuliskan ‘ini adalah kepala Husain’. Lalu aku ambil pedangku dan menggali tanah. Aku kubur kepalanya di situ.”

Bab Tuma atau Gerbang Thomas adalah salah satu dari tujuh gerbang kuno yang ada di Damaskus. Cerita di atas menarik bukan hanya karena tampak asli (meskipun secara sanad harus diteliti lagi). Namun juga bisa diambil mafhum bahwa kepala Husain masih utuh. Dalam ilmu kalam sendiri lazim diajarkan bahwa martir (orang yang mati syahid) jasadnya tidak akan hancur (lihat di Nazham Zubad Ibn Ruslan, misalnya).

Sementara itu Al-Qalqasyandi dalam Ma’atsir al-Inaqah sempat menyitir sebuah qiil (pendapat) bahwa kepala Husain dimakamkan di Ashkelon. Mengenai prosesnya, Asy-Syablanji dalam Nurul Abshar menceritakan bahwa ketika kepala Husain diserahkan kepada Yazid, ia memerintahkan agar kepala itu diarak keliling kota. Akhirnya arak-arakan itu terus berjalan dan baru berhenti di Ashkelon. Lalu amir Ashkelon memerintahkan agar kepalanya dimakamkan di situ.

Jika kepala beliau memang benar di Ashkelon, maka pendapat selanjutnya yang mengatakan kepala Husain berada di Kairo juga akan memiliki kemungkinan benar. Karena proses perpindahan kepalanya adalah—sebagaimana ditulis Al-Qalqasyandi—ketika Raja Al-Faiz bi Dinillah (salah seorang raja Syiah Fathimi yang berkuasa di Mesir) hendak membangun universitas (jami’/masjid jami?) ia ingin agar kepala Husain dibawa ke sana. Akhirnya Al-Faiz memerintahkan Thala’i bin Ruzzik untuk menyogok warga Ashkelon agar mau memindah kepala Husain ke Kairo. Asy-Syablanji menyebut uang suap yang dikeluarkan Thala’i bernilai tiga ratus ribu Dinar. Akhirnya mereka setuju dan tentara Dinasti Fathimi berangkat ke Ash-Shalihiyyah seraya tidak memakai sandal untuk menghormati kepala Husain dan menjemputnya di sana.

Makam Kairo ini tampaknya dibenarkan oleh Al-Qalqasyandi—juga oleh ahli tasawuf semacam Asy-Sya’rani dalam Minan-nya. Namun riwayat ini sendiri ditolak mentah-mentah oleh Ibn Taymiyyah. Beliau mengatakan bahwa baik masyhad Husain yang ada di Ashkelon maupun Kairo bukanlah lokasi asli kepala Husain. “(Yang ada di Ashkelon itu) tidak ada tanda-tanda bahwa itu kuburan orang Islam,” ujar beliau dalam risalah beliau Ra’su Husain halaman 14, “Apalagi kuburan kepala Husain!” ia lebih suka jika itu kuburan orang Nasrani.

Begitu juga di Kairo, ia sama sekali tidak setuju jika itu disebut sebagai makam kepala Husain. Bahkan, ia menggunakan perkataan Al-Hafizh Al-Qasthalani bahwa yang di Kairo itu kuburan seorang pendeta. Sayang sekali Ibn Taymiyyah tidak memberi rujukan atas ucapan Al-Qasthalani di atas.

Lantas di mana makam kepala beliau? Menurut mayoritas ulama—juga Ibn Taymiyyah—makam beliau berada di samping ibunya, Sayyidatuna Fathimah radhiya Allahu anhum ajma’in di Baqi’. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa riwayat yang disampaikan baik oleh Ath-Thabari, Adz-Dzahabi, Ibn Katsir dan lain-lain. Sejarawan barat terkemuka Philip Hitti sendiri lebih condong kepada pendapat ini.

Terlepas dari itu, wafatnya Husain adalah duka bersama umat Islam apa pun aliran dan golongannya.

Setelah Tragedi Karbala, ketika rombongan Imam Ali Zainal Abiddin As-Sajjad (putera Sayyidina Husein) dan Zainab (adik sayyidina Husein) disertai rombongan kecil berisi wanita dan anak-anak datang dari Kufah dan Karbala ke Syam, rombongan itu berhenti di kota Aleppo untuk beristirahat di dekat biara ini. Para biarawan dan pendeta dari biara ini melihat dengan jelas sekali ada cahaya yang terang yang keluar dari kepala Imam Husein yang diarak oleh tentara Yazid yang mengawal rombongan dari keluarga Nabi itu. Kejadian itu terjadi pada tahun 61H.

Ketika para pendeta dan biarawan itu tahu bahwa para tawanan yang dibawa tentara Yazid itu ialah sisa-sisa keluarga Nabi (dimana banyak dari kaum lelakinya sudah syahid). Seorang kepala biarawan itu bertanya.,

“Kepala-kepala siapakah ini?”
“Ini adalah kepala-kepala cucu Nabi, keluarga Nabi, dan para pengikutnya”
“Celakalah kalian karena sudah memperlakukan keturunan Nabi seburuk ini”
“Aku akan pinjam kepala cucu Nabi itu biar dengan membayar tinggi sekalipun”

Bala tentara laknat itu tergiur dengan uang yang ditawarkan oleh kepala biara itu. Dan mereka menyerahkan kepala Imam Husein untuk bermalam di biara. Untuk itu, para pendeta dari biara itu mengeluarkan uang yang sangat banyak.

eorang pendeta yang memiliki pengetahuan luas mengambil kepala Imam Husein dari para pengawal (tentara Yazid) dan kemudian meletakkan kepala Sayyidina Husein itu di atas sebuah batu untuk dicuci dan disisir rambutnya serta diberi minyak wangi.

“Betapa besar penghargaan yang diberikan oleh seorang yang beragama Nasrani untuk kepala suci dari cucu Nabi”
“Betapa kecil penghormatan yang diberikan oleh kaum Muslimin waktu itu, kepada sisa keluarga Nabi yang ditawan dan dibelenggu”

Pendeta itu berdoa terus menerus di depan kepala Imam Husein hingga subuh menjelang pagi dan kemudian ia memberikan kembali kepala itu kepada para bala tentara Yazid. Sang pendeta sendiri konon katanya langsung memeluk Islam tidak lama setelah kejadian tersebut.
Sejak malam itu hingga beberapa hari kemudian darah segar senantiasa keluar dari batu tempat kepala Sayyidina Husein diletakkan itu. Dan setelah rombongan tawanan keluarga nabi itu pergi dari biara itu, kembali pendeta tersebut melantunkan doa-doa rintihan untuk mengenang sang cucu Nabi. Sementara itu batu itu tetap mengeluarkan darah segar.

Batu ini akhirnya memerah karena darah yang pernah tercurahkan dari kepala “Pemimpin Para Syuhada” dan tetap bersemayam di biara ini dari awal bulan Safar tahun 61H hingga tahun 333H. Ketika Raja Sifoddowie Hamdani (seorang pengikut Ahlul Bait Nabi) memasuki kota Aleppo dan memutuskan untuk menjadikan kota Aleppo itu menjadi ibu kota, Raja itu seringkali menjenguk batu itu. Dan sampai detik itu masih pula mengeluarkan darah segar. Ia akhirnya memutuskan untuk membangun tempat itu untuk menghormati batu yang mengeluarkan darah itu sebagai tanda kebesaran Allah di muka bumi ini.

Pada pertengahan abad keempat Hijriah, bangunan megah yang ditujukan untuk menghormati batu itu berdiri. Dan sejak saat itu lah tempat tersebut mulai sering di ziarahi bagi para pecinta cucu Nabi (Imam Husein as). Tempat itu dikenal sekarang sebagai “Masjid Al-Nuqtah” atau kurang lebih artinya “Masjid Tempat Darah Tercurah”.

Pada tahun 1333H ketika para penguasa Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah) menguasai kawasan ini, mereka melarang orang-orang yang hendak berziarah ke tempat ini dan mereka malah menggunakan tempat ini untuk menyimpan amunisi serta senjata selama masa perang. Akhirnya pada suatu masa, Kekhalifahan Ottoman mengalami kemunduran dan lemah dalam segala bidang, pada saat itulah tentara sekutu bermaksud untuk menyerang kota Aleppo. Timbullah kekacauan di mana-mana pada waktu itu (20 Muharam 1337 H). Masjid yang dipenuhi oleh amunisi senjata dan mesiu ini tiba-tiba meledak. Bangunan nan indah ini hancur porak-poranda dan kepingannya berserakan di mana-mana.

Keajaiban terjadi, batu berdarah itu tetap berada di tempatnya dan beberapa batu yang besar berkumpul di sekelilingnya, seolah-olah ingin melindungi batu tersebut. Sungguh itu merupakan suatu tanda kebesaran Illahi. Kemudian beberapa orang ulama mengambil batu itu dan membawanya ke Masjid Zakaria yang ada di kota itu.

Setelah dipindah batu tersebut menunjukkan beberapa keanehan. Yaitu seringkali bergerak-gerak sehingga membuat ketakutan para alim ulama dan santrinya. Hingga akhirnya mereka memutusakan untuk menempatkan batu itu di atas punggung seekor kuda dan kemudian membiarkan kuda itu membawanya kemana ia suka.

Kuda itu membawa batu suci tersebut ke tengah-tengah kota Aleppo menuju tempat dimana batu itu dulu ditempatkan, yaitu di Masjid Al-Nuqtah yang ketika itu masih dalam keadaan porak-poranda. Karena tempat itu rusak, kuda itu (seolah-olah memiliki kehendak sendiri) membawa batu itu ke tempat pemakaman bayi Imam Husein yang bernama Muhsin. Kemudian batu itu akhirnya disimpan di sisi makam tersebut.

Tempat suci itu tetap dalam keadaan hancur selama masa-masa sulit setelah peperangan berlangsung hingga tahun 1379 H. Pada tahun itu ada sebuah organisasi bernama Jafari Islamic Rebuilding Society yang berencana untuk membangun kembali masjid itu sesuai dengan bentuk aslinya dulu. Dengan rahmat dan kebesaran Allah, serta keinginan kuat dari berbagai orang yang bersedia menyumbangkan harta dan tenaganya serta bantuan moril dan materil dari para alim ulama, akhirnya mereka bisa membangun kembali Masjid itu dengan sebagaimana bentuknya yang lama. Anehnya mereka tetap bisa menggunakan batu-batuan yang dulunya digunakan untuk membuat Masjid bersejarah itu. Dengan batuan yang sama (yang dulu berserakan setelah ledakan) mereka berhasil membangun Masjid itu seperti sedia kala, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Allahumma Shali ‘ala Sayyidina Muhammad wa‘ala ali sayyidina Muhammad.

Tentang [2] 1.2. Sayyidina wa Maulana Husain (Bahasa Indonesia)

Sayyidina Husain bin Ali bin Abu Thalib

Cucu Rasulullah SAW, meninggal pada tragedi Karbala 10 Muharram tahun ke-61 Hijriyah.

Makbaroh :
1. Masjid Maolana al-Hussein 1154 M komplek Kairo lama, Mesir.
2. Masjid Husein Karbala, Iraq
3. Masjid Al-Nuqtah Alepo Iraq

Dalam peristiwa tersebut, Husain meninggal dibunuh dengan cara sadis yaitu dipenggal kepalanya dan dipisahkan dari badannya. Ia terbunuh oleh pasukan dari Yazid bin Muawiyah saat hendak ke Kuffah. Kepala Husein dipenggal oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai menurut Ibnu Katsir. Kepala Sayyidina Husen lalu diserahkan ke Yazid bin Muawiyah.

Yang lebih tragis lagi, hingga kini, makam cucu Nabi Muhammad SAW itu menjadi misteri besar dalam sejarah Islam yang masih banyak diperdebatkan. Sumber-sumber Syiah menyebutkan bahwa makam kepala Sayyidina Husain yang mulia berada di Karbala. Namun sumber-sumber selain Syiah menyebutkan berbagai macam tempat tak hanya Karbala.

Makam Karbala, Irak

Al-Qurthubi dalam Al-Tadzkirah meriwayatkan dari Mazhab Imamiyah bahwa kepala Husain berhasil diambil dan disatukan dengan badan beliau di Karbala pada hari keempat puluh setelah tragedi Karbala. Karena itu, setiap 20 Safar Karbala akan ramai dikunjungi peziarah untuk memperingati hari berkumpulnya kepala dan jasad beliau. Namun pendapat ini tidak ada sumber rujukannya dari ulama-ulama Sunni.

Makam berada di Kairo, Mesir

Menurut Al-Qalqasyandi, ketika Raja Al-Faiz bi Dinillah yang merupakan salah seorang raja Syiah Fathimiyah di Mesir hendak membangun universitas, dia ingin agar kepala Husain dibawa ke sana. Akhirnya Al-Faiz memerintahkan Thala’i bin Ruzzik untuk menyogok warga Ashkelon yang dipercayai tempat dikuburnya kepala Husein sebelumnya, agar mau memindah kepala Husain ke Kairo.

Asy-Syablanji menyebut uang suap yang dikeluarkan Thala’i bernilai tiga ratus ribu Dinar. Akhirnya mereka setuju dan tentara Dinasti Fathimiyah berangkat ke wilayah tersebut dan memindahkan kepala yang diyakini sebagai Husain ke Kairo.

Berada di sekitar kompleks Kairo lama, berhadapan dengan masjid Al-Azhar dan hanya beberapa meter dari Azhar Park.Riwayat mengisahkan, makam ini hanya berisi kepala Sayyidina Hussein, sementara jasadnya dimakamkan di padang Karbala, tempat di mana Sayyidina Hussein gugur pada pertempuran Karbala, Irak.

Pertempuran antara Sayyidina Hussein dengan sekitar 70 pasukannya berhadapan dengan Ubaidullah bin Ziyad masa kalifah Yazid bin Muawiyyah dari Bani Umayyah dengan ribuan pasukannya karena ketidaksepahaman terhadap siapa yang akan meneruskan kekhalifahan.

Makam Sayyidina Hussein berada tepat di belakang mimbar masjid. Berbentuk persegi empat berwarna keperakan berhiaskan ayat suci Al Quran dan bertuliskan nasab beliau dengan banyak bunga. Pagar setinggi dada orang dewasa mengelilingi makam.

Selain makam Sayyidina Hussein, di sekitarnya tersimpan peninggalan Rasulullah SAW, seperti rambut, pedang, jubah, sandal, alat penghitam bulu mata, dan sejengkal potongan tongkat. Juga terdapat Al Quran tulisan Khalifah Ali dan Al Quran yang dibaca khalifah Usman ketika beliau terbunuh.

Hanya ulama setempat yang bisa masuk ke dalam tempat penyimpanan peninggalan Rasulullah ini. Para peziarah cukup melihatnya dari foto-foto yang terpajang di dinding sekitar makam.

Berziarah ke masjid ini pada hari Jumat, masjid penuh dengan peziarah dari luar Mesir dan jamaah salat Jumat. Sebelum salat Jumat dimulai, banyak peziarah mendatangi makam Sayyidina Hussein sekadar memanjatkan doa untuknya dan membaca Al Quran di depan makamnya. Banyak juga peziarah yang mengabadikan momen berziarahnya di ponsel pribadi.

Usai berziarah, para peziarah bisa langsung ke Khan el Khalili di belakang masjid. Ini tempat menjual benda-benda antik, suvenir, perhiasan, dan makanan khas Mesir. Khan el Khalili ini bisa diibarat Malioboro-nya Mesir.

Lelaki Mulia berusia 58 tahun itu baru selesai melaksanakan sholat subuh. Kemudian, Husain bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya dan menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Kemudian, ia mulai menyampaikan pidato yang indah dan menyentuh hati.
“Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kekhormatanku”.
“Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu (Fatimah Az-Zahra) ? Bukankah aku ini anak dari washi (penerima wasiat) dan keponakan Nabimu yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?”

“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga itu pamanku?”

“Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian sendiri bahwa Rasulullah SAW pernah berkata tentang saudaraku dan aku? Kata baginda Rasul, keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga.”

“ Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku maka tanyakanlah kepada para sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Sahl bin Sa’ad, Zaid bin Arqam, dan Anas bin Malik, yang semuanya akan meberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. Tidakkah ini semua cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”.

Sayangnya mereka yang telah terkunci hatinya tidak tersadar dengan pidato yang disampaikan Sayyidina Husain tersebut. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidillah bin Ziyad itu tetap memaksa Sayyidina Husain untuk mengakui kekuasaan khalifah Yazid bin Muawiyah.

Hingga akhirnya, Husain dibunuh dengan tombak oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai. Kemudian, dia juga menggorok leher Husain dan menyerahkan kepala Husain kepada Khawali bin Yazid. Hal ini diceritakan secara rinci oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah.

Demikian, At-Thabari dalam kitabnya Tarikh At-Thabari jilid kelima halaman 425 dan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah jilid ke-8 halaman 193.

Perbedaan sumber ini dipicu oleh kejadian setelah kepala beliau dibawa ke Yazid putra Muawiyah RA. Apa yang terjadi berikutnya masih diperselisihkan oleh para ulama Sunni. Mereka menyebut enam kemungkinan tempat: Damaskus, Karbala, Raqqa, Ashkelon, Kairo, dan Madinah.

Asy-Syablanji, seorang muta’akhirin bermazhab Syafi’i dari Mesir menceritakan dalam Nurul Abshar (hlm. 267) bahwa setelah pembantaian Karbala, keluarga, tentara, dan kepala Husain digiring layaknya tawanan memasuki Kufah menuju Ibn Ziyad, pemimpin Kufah yang memerintahkan menyergap Husain di Karbala. Ketika itu, rakyat Kufah menangis dan Ali bin Husain yang masyhur dikenal sebagai Imam Zainal Abidin bertanya-tanya, jika semua orang Irak menangis iba pada kami, lantas siapa sebenarnya yang tega membunuh kami?

Setelah dari Kufah, rombongan serta kepala Husain diarahkan ke Damaskus untuk diserahkan kepada Yazid. Sampai di sini para sejarawan masih sepakat. Namun setelah dibawa kepada Yazid para sejarawan berbeda pendapat. Al-Qurthubi dalam Al-Tadzkirah (2/1122) meriwayatkan dari Mazhab Imamiyah bahwa kepala Husain berhasil diambil dan disatukan dengan badan beliau di Karbala pada hari keempat puluh setelah tragedi Karbala. Oleh karena itu, pada 20 Safar Karbala akan ramai dikunjungi peziarah untuk memperingati hari berkumpulnya kepala dan jasad beliau. Namun sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada sumber rujukan Sunni tentang riwayat ini.

Sementara Abbas Aqqad dalam Abqariyyat (3/297) menukil dari Sibt Ibn Jauzi bahwa tatkala kepala Husain diserahkan kepada Yazid, ia mengirimkan kepala itu kepada keluarga Abu Mu’aith. Keluarga Abu Muaith sendiri tinggal di Raqqa, lalu kepala itu dimakamkan di salah satu rumah mereka sebelum akhirnya digusur untuk pembangunan Masjid Jami. Penulis sendiri tidak bisa memastikan apakah Abu Mu’aith yang dimaksud ini adalah ayah dari ‘Uqbah, satu-satunya orang yang pernah dibunuh Nabi SAW. Lagi pula, riwayat Sibth Ibn Jauzi ini tidak berhasil penulis telusuri di beberapa kitab asli beliau.

Sementara As-Sakhawi dalam Tuhfah al-Lathifah (hlm 514) menukil bahwa kepala Husain diarak keliling Damaskus dan berhenti di Masjid Jami. Setelah itu, kepalanya dimakamkan di bawah tiang masjid yang menghadap kiblat. Ibn Hibban berkata—sebagaimana ditulis Al-Sakhawi, “Aku setuju hal ini”. Namun As-Sakhawi juga menyebut versi lain yang menyatakan kepalanya berada di menara ketiga Bab Firdaus di Damaskus.

Sementara Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (8/204) menulis jika kepala Husain sempat digantung di pusat Kota Damaskus selama tiga hari. Setelah itu, kepalanya disimpan di dalam brangkas senjata. Ketika Sulaiman bin Abdul Malik berkuasa ia meminta agar kepala itu diambil. Ketika itu kepalanya hanya tersisa tengkorak dan Sulaiman memerintahkan agar kepala itu dikafani dan dimakamkan di pemakaman umum orang Islam. Namun beberapa tahun berselang kelompok musawwadah (maksudnya Abbasiyah) menggali makam itu dan mencurinya.

Menariknya, dalam Tarikh al-Islam (2/583) Adz-Dzahabi sempat merekam sebuah kisah riwayat yang unik dari seorang pria bernama Abu Karb:

“Aku (Abu Karb) termasuk pemberontak yang menerobos istana Al-Walid bin Yazid. Aku juga termasuk orang yang merampok dan masuk ke dalam brangkas istana. Lalu aku menemukan safath (tempat perempuan menyimpan perlengkapannya) dan aku berpikir barangkali hal ini akan mencukupi kebutuhanku. Lalu aku keluar dan memacu kudaku. Ketika aku sudah keluar dari Bab Tuma, aku berhenti dan membuka kotak safath itu. Ternyata di dalamnya berisi sebuah benda yang dibungkus sutra. Ketika aku buka isinya adalah kepala dan bertuliskan ‘ini adalah kepala Husain’. Lalu aku ambil pedangku dan menggali tanah. Aku kubur kepalanya di situ.”

Bab Tuma atau Gerbang Thomas adalah salah satu dari tujuh gerbang kuno yang ada di Damaskus. Cerita di atas menarik bukan hanya karena tampak asli (meskipun secara sanad harus diteliti lagi). Namun juga bisa diambil mafhum bahwa kepala Husain masih utuh. Dalam ilmu kalam sendiri lazim diajarkan bahwa martir (orang yang mati syahid) jasadnya tidak akan hancur (lihat di Nazham Zubad Ibn Ruslan, misalnya).

Sementara itu Al-Qalqasyandi dalam Ma’atsir al-Inaqah sempat menyitir sebuah qiil (pendapat) bahwa kepala Husain dimakamkan di Ashkelon. Mengenai prosesnya, Asy-Syablanji dalam Nurul Abshar menceritakan bahwa ketika kepala Husain diserahkan kepada Yazid, ia memerintahkan agar kepala itu diarak keliling kota. Akhirnya arak-arakan itu terus berjalan dan baru berhenti di Ashkelon. Lalu amir Ashkelon memerintahkan agar kepalanya dimakamkan di situ.

Jika kepala beliau memang benar di Ashkelon, maka pendapat selanjutnya yang mengatakan kepala Husain berada di Kairo juga akan memiliki kemungkinan benar. Karena proses perpindahan kepalanya adalah—sebagaimana ditulis Al-Qalqasyandi—ketika Raja Al-Faiz bi Dinillah (salah seorang raja Syiah Fathimi yang berkuasa di Mesir) hendak membangun universitas (jami’/masjid jami?) ia ingin agar kepala Husain dibawa ke sana. Akhirnya Al-Faiz memerintahkan Thala’i bin Ruzzik untuk menyogok warga Ashkelon agar mau memindah kepala Husain ke Kairo. Asy-Syablanji menyebut uang suap yang dikeluarkan Thala’i bernilai tiga ratus ribu Dinar. Akhirnya mereka setuju dan tentara Dinasti Fathimi berangkat ke Ash-Shalihiyyah seraya tidak memakai sandal untuk menghormati kepala Husain dan menjemputnya di sana.

Makam Kairo ini tampaknya dibenarkan oleh Al-Qalqasyandi—juga oleh ahli tasawuf semacam Asy-Sya’rani dalam Minan-nya. Namun riwayat ini sendiri ditolak mentah-mentah oleh Ibn Taymiyyah. Beliau mengatakan bahwa baik masyhad Husain yang ada di Ashkelon maupun Kairo bukanlah lokasi asli kepala Husain. “(Yang ada di Ashkelon itu) tidak ada tanda-tanda bahwa itu kuburan orang Islam,” ujar beliau dalam risalah beliau Ra’su Husain halaman 14, “Apalagi kuburan kepala Husain!” ia lebih suka jika itu kuburan orang Nasrani.

Begitu juga di Kairo, ia sama sekali tidak setuju jika itu disebut sebagai makam kepala Husain. Bahkan, ia menggunakan perkataan Al-Hafizh Al-Qasthalani bahwa yang di Kairo itu kuburan seorang pendeta. Sayang sekali Ibn Taymiyyah tidak memberi rujukan atas ucapan Al-Qasthalani di atas.

Lantas di mana makam kepala beliau? Menurut mayoritas ulama—juga Ibn Taymiyyah—makam beliau berada di samping ibunya, Sayyidatuna Fathimah radhiya Allahu anhum ajma’in di Baqi’. Pendapat ini dikuatkan oleh beberapa riwayat yang disampaikan baik oleh Ath-Thabari, Adz-Dzahabi, Ibn Katsir dan lain-lain. Sejarawan barat terkemuka Philip Hitti sendiri lebih condong kepada pendapat ini.

Terlepas dari itu, wafatnya Husain adalah duka bersama umat Islam apa pun aliran dan golongannya.

Setelah Tragedi Karbala, ketika rombongan Imam Ali Zainal Abiddin As-Sajjad (putera Sayyidina Husein) dan Zainab (adik sayyidina Husein) disertai rombongan kecil berisi wanita dan anak-anak datang dari Kufah dan Karbala ke Syam, rombongan itu berhenti di kota Aleppo untuk beristirahat di dekat biara ini. Para biarawan dan pendeta dari biara ini melihat dengan jelas sekali ada cahaya yang terang yang keluar dari kepala Imam Husein yang diarak oleh tentara Yazid yang mengawal rombongan dari keluarga Nabi itu. Kejadian itu terjadi pada tahun 61H.

Ketika para pendeta dan biarawan itu tahu bahwa para tawanan yang dibawa tentara Yazid itu ialah sisa-sisa keluarga Nabi (dimana banyak dari kaum lelakinya sudah syahid). Seorang kepala biarawan itu bertanya.,

“Kepala-kepala siapakah ini?”
“Ini adalah kepala-kepala cucu Nabi, keluarga Nabi, dan para pengikutnya”
“Celakalah kalian karena sudah memperlakukan keturunan Nabi seburuk ini”
“Aku akan pinjam kepala cucu Nabi itu biar dengan membayar tinggi sekalipun”

Bala tentara laknat itu tergiur dengan uang yang ditawarkan oleh kepala biara itu. Dan mereka menyerahkan kepala Imam Husein untuk bermalam di biara. Untuk itu, para pendeta dari biara itu mengeluarkan uang yang sangat banyak.

eorang pendeta yang memiliki pengetahuan luas mengambil kepala Imam Husein dari para pengawal (tentara Yazid) dan kemudian meletakkan kepala Sayyidina Husein itu di atas sebuah batu untuk dicuci dan disisir rambutnya serta diberi minyak wangi.

“Betapa besar penghargaan yang diberikan oleh seorang yang beragama Nasrani untuk kepala suci dari cucu Nabi”
“Betapa kecil penghormatan yang diberikan oleh kaum Muslimin waktu itu, kepada sisa keluarga Nabi yang ditawan dan dibelenggu”

Pendeta itu berdoa terus menerus di depan kepala Imam Husein hingga subuh menjelang pagi dan kemudian ia memberikan kembali kepala itu kepada para bala tentara Yazid. Sang pendeta sendiri konon katanya langsung memeluk Islam tidak lama setelah kejadian tersebut.
Sejak malam itu hingga beberapa hari kemudian darah segar senantiasa keluar dari batu tempat kepala Sayyidina Husein diletakkan itu. Dan setelah rombongan tawanan keluarga nabi itu pergi dari biara itu, kembali pendeta tersebut melantunkan doa-doa rintihan untuk mengenang sang cucu Nabi. Sementara itu batu itu tetap mengeluarkan darah segar.

Batu ini akhirnya memerah karena darah yang pernah tercurahkan dari kepala “Pemimpin Para Syuhada” dan tetap bersemayam di biara ini dari awal bulan Safar tahun 61H hingga tahun 333H. Ketika Raja Sifoddowie Hamdani (seorang pengikut Ahlul Bait Nabi) memasuki kota Aleppo dan memutuskan untuk menjadikan kota Aleppo itu menjadi ibu kota, Raja itu seringkali menjenguk batu itu. Dan sampai detik itu masih pula mengeluarkan darah segar. Ia akhirnya memutuskan untuk membangun tempat itu untuk menghormati batu yang mengeluarkan darah itu sebagai tanda kebesaran Allah di muka bumi ini.

Pada pertengahan abad keempat Hijriah, bangunan megah yang ditujukan untuk menghormati batu itu berdiri. Dan sejak saat itu lah tempat tersebut mulai sering di ziarahi bagi para pecinta cucu Nabi (Imam Husein as). Tempat itu dikenal sekarang sebagai “Masjid Al-Nuqtah” atau kurang lebih artinya “Masjid Tempat Darah Tercurah”.

Pada tahun 1333H ketika para penguasa Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah) menguasai kawasan ini, mereka melarang orang-orang yang hendak berziarah ke tempat ini dan mereka malah menggunakan tempat ini untuk menyimpan amunisi serta senjata selama masa perang. Akhirnya pada suatu masa, Kekhalifahan Ottoman mengalami kemunduran dan lemah dalam segala bidang, pada saat itulah tentara sekutu bermaksud untuk menyerang kota Aleppo. Timbullah kekacauan di mana-mana pada waktu itu (20 Muharam 1337 H). Masjid yang dipenuhi oleh amunisi senjata dan mesiu ini tiba-tiba meledak. Bangunan nan indah ini hancur porak-poranda dan kepingannya berserakan di mana-mana.

Keajaiban terjadi, batu berdarah itu tetap berada di tempatnya dan beberapa batu yang besar berkumpul di sekelilingnya, seolah-olah ingin melindungi batu tersebut. Sungguh itu merupakan suatu tanda kebesaran Illahi. Kemudian beberapa orang ulama mengambil batu itu dan membawanya ke Masjid Zakaria yang ada di kota itu.

Setelah dipindah batu tersebut menunjukkan beberapa keanehan. Yaitu seringkali bergerak-gerak sehingga membuat ketakutan para alim ulama dan santrinya. Hingga akhirnya mereka memutusakan untuk menempatkan batu itu di atas punggung seekor kuda dan kemudian membiarkan kuda itu membawanya kemana ia suka.

Kuda itu membawa batu suci tersebut ke tengah-tengah kota Aleppo menuju tempat dimana batu itu dulu ditempatkan, yaitu di Masjid Al-Nuqtah yang ketika itu masih dalam keadaan porak-poranda. Karena tempat itu rusak, kuda itu (seolah-olah memiliki kehendak sendiri) membawa batu itu ke tempat pemakaman bayi Imam Husein yang bernama Muhsin. Kemudian batu itu akhirnya disimpan di sisi makam tersebut.

Tempat suci itu tetap dalam keadaan hancur selama masa-masa sulit setelah peperangan berlangsung hingga tahun 1379 H. Pada tahun itu ada sebuah organisasi bernama Jafari Islamic Rebuilding Society yang berencana untuk membangun kembali masjid itu sesuai dengan bentuk aslinya dulu. Dengan rahmat dan kebesaran Allah, serta keinginan kuat dari berbagai orang yang bersedia menyumbangkan harta dan tenaganya serta bantuan moril dan materil dari para alim ulama, akhirnya mereka bisa membangun kembali Masjid itu dengan sebagaimana bentuknya yang lama. Anehnya mereka tetap bisa menggunakan batu-batuan yang dulunya digunakan untuk membuat Masjid bersejarah itu. Dengan batuan yang sama (yang dulu berserakan setelah ledakan) mereka berhasil membangun Masjid itu seperti sedia kala, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Allahumma Shali ‘ala Sayyidina Muhammad wa‘ala ali sayyidina Muhammad.

ada cerita menarik
1 [https://aktual.com/karamah-sayyidina-husain-dirasakan-pada-tahun-2005/
2 [https://zawaya.id/kisah-syekh-shalih-al-jafary-yang-ditegur-oleh-im...